Cerita Mark

228 31 1
                                    

Dua pekan berlalu, sisa satu pekan lagi bulan Juni habis diganti dengan selanjutnya. Aktivitas hari kerja yang sempat tertunda kembali menggerakkan manusia-manusia untuk meraih sukacita duniawi. Meninggalkan sejenak kesukaan serta keluarga. Namun, hal itu pula demi kesukaan dan keluarga. Semua tidak akan ada habisnya.

"Kapan dia bisa makan MPASI, Chanie?"

Mendengar pertanyaan bodoh membuat Haechan mendengus kasar. "Dia baru saja dua Minggu aku keluarkan dari perutku, mana bisa langsung makan begitu saja, Jaemin-ah."

"Ya, kan, aku tidak tahu. Aku tidak akan bertanya kalau tahu, pun."

Haechan menggulirkan kedua matanya sebal.

Sore ini, selepas pulang kantor, Jaemin mengunjungi Haechan dengan embel-embel ingin menemui bayinya itu, padahal jika dipaksa jujur, dia hanya merindukan sahabatnya itu. Menggelikan jika Jaemin bersikap demikian, tapi begitulah adanya.

Jaemin tidak lembur kali ini, jadinya dia pulang lebih cepat dan mengunjungi Haechan sebelum pergi ke kedai Jeno.

"Hah, kenapa dia menggemaskan sekali, hah?" Gumam Jaemin pada bayi di gendongannya.

Haechan yang sedang melipat pakaian bayinya itu pun menghentikan sejenak aktivitas. "Tentu saja, parasnya mewarisi aku," jawabnya angkuh.

Kedua mata Jaemin melotot, sudut atas bibirnya dinaikan sedikit. "Menyesal aku berkata begitu."

Haechan hanya tertawa kecil sebagai jawaban, ia sibuk mengurusi pakaian buah hatinya. "Jaemin-ah, nanti jikalau kau sudah punya anak, aku akan tidak akan menikahkan anakku dengan anakmu."

"Cih, percaya diri sekali. Tidak mau aku besanan denganmu," decap istri dari Lee Jeno itu. "Huh, aku jadi ingin cepat-cepat punya anak, Chan-ie."

"Nah, mulai lagi."

Jaemin menidurkan putri Haechan pada keranjang bayi. "Mulai lagi apa, hah? Aku bisa menangis dan mengadu pada Jeno." Jaemin membuat gestur tubuh seakan dia lebih besar; meletakkan kedua tangannya di antara pinggang.

"Dasar pengadu!" Haechan bangun dari duduknya, pergi meletakkan pakaian yang sudah ia lipat tadi ke dalam lemari.

"Aduh! Sakit, sialan." Empunya mengaduh sambil tertatih. Jaemin tiba-tiba menerima rasa sakit pada jempol kakinya, sahabatnya itu baru saja menginjak kakinya. "Ada apa denganmu, aish."

Yang ditanya mengangkat bahu, "kata orang-orang jika ingin nasibnya sama harus dipinjak kakinya oleh pemilik nasib. Sudah kupinjak jempol kakimu, tunggu saja kabar baiknya."

"Dasar kolot."

***

Seperti biasa, Jaemin menunggu bis di depan halte menuju kedai mi milik Jeno. Masih tersisa tujuh puluh menit lagi sampai kedai ditutup.

Hari ini rasa rindu kepada Jeno sangat besar sepertinya. Sama seperti kepada Haechan tadi, pria manis itu ingin segera menemui suaminya.

Pandangannya ia berikan ke kiri dan kanan, ujung kakinya digerakkan menghasilkan sebuah irama acak. Selang beberapa detik berlalu, netranya jatuh pada toko roti di sebrang sana. Aneh pula rasanya, Jaemin tak pernah merasa ingin membeli sesuatu dengan sangat memburu seperti kali ini, ditambah dengan keinginan membeli roti biasa ia beli ke toko roti langganannya; roti buatan Shin Ahjumma.

Tak ada pilihan lagi, rasa-rasanya pikiran dan hatinya memilih untuk membeli sebuah roti yang ada di seberang sana. Tidak ada yang spesial dari toko roti itu, Jaemin hanya merasa ia harus membelinya.

Sekantung roti panas berhasil berada dalam genggamannya, tetapi tiba-tiba keinginan untuk memakan roti itu hilang begitu saja, ada apa dengannya?

"Aku ini kenapa?"

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang