Siang harinya, sekitar pukul sebelas lewat lima belas menit pelaku yang membuat Jeno seperti terdampak gempa tadi pagi mulai menggeliat dalam tidurnya. Matahari di atas bentangan biru di atas sana hampir menginjak puncaknya. Surya yang diedarkan ke seluruh luasan bumi lantas membuat siapapun menarik sesuatu untuk memberi sejuk atas tubuh yang berkeringat, namun yang satu ini malah sibuk menarik-narik selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuh.
Pantas saja menggeliat tak nyaman. Cuaca sedang panas-panasnya, Jaemin malah mengurung diri dengan selimut hangat.
Jeno yang sedang membaca komik di pojok kamar segera mendekati istrinya, padahal dia sedang khusyuk-khusyuknya membaca bagian pertarungan dalam buku komik anime masa SMA-nya. Tidak ada satupun yang dapat mengusik anime lovers satu ini, kecuali suara-suara yang dikeluarkan Jaemin. Bagaimana tidak? Suara Jaemin berguling kesana-kemari seperti cacing kepanasan membuat riuh seruangan. Hingga Jeno dengan ketulusan hati menunda perangnya.
"Sayang, sudah siang sekarang." Jeno menyingkapkan selimut yang tadi menggulung tubuh Jaemin, kemudian mengusap dahi istrinya yang basah karena keringat. "Tubuhnya masih terasa tak enak?"
"Eunghh." Jaemin bergumam. Baru saja bangun dari tidur, nyawanya masih belum terkumpul sempurna, kalau kata Jeno sih seperti itu.
Perlahan Jaemin membukakan kelopak mata yang tadi terpejam, dahinya masih membuat garis, alisnya masih bertaut. "Kenapa tidak pergi ke kedai?" Kalimat pertamanya adalah pertanyaan.
Jeno tersenyum hingga pipinya menarik kedua mata sipit itu untuk membentuk sebuah lengkungan. Seperti ikut tersenyum.
"Menunggu Tuan Putri bangun dan memastikan ia makan sarapannya yang terlambat itu." Tak henti-hentinya untuk mengelus halus rambut Jaemin. "Ayo bangun, lalu makan."
"Iya," jawab Jaemin sekenanya.
Jeno mengambil satu tangan Jaemin untuk ia genggam. Lalu setelah bangun dari posisi rebah, Jaemin duduk di tepi ranjang lama sekali, mengundang Jeno merendahkan tubuhnya, ikut sejajar dengan Jaemin. Dengan begitu, ia menggenggam kedua tangan Jaemin di hadapannya kemudian mengusap-usap kedua tangan itu dengan ibu jarinya.
"Kenapa? Masih tak enak badan? Mau ku gendong?" Manik hitam pekat milik si dominan tak diedarkan barang sejenak ke selain arah selain wajah senyap istrinya yang sedang menunduk lemas. Hanya jeda beberapa detik saja, ia lihat pria manis di hadapannya mengangguk dengan kedua belah bibir yang ia tarik, membuat kedua pipi bulatnya itu semakin besar. Gemas sekali.
Segera saja Jeno membalikan posisi tubuhnya menjadi membelakangi Jaemin.
"Ayo." Tautan tangan mereka tadi Jeno posisikan di antara bahunya, namun setelahnya membuat Jeno bingung. Jaemin menarik lengannya yang sudah ada di bahu Jeno tadi. Lalu Jeno memutar kepalanya, menoleh pada Jaemin.
"Kenapa?" Jeno kini sudah membalikkan tubuhnya kembali berhadapan dengan kesayangannya.
Dengan manik yang berbinar itu, serta garis bibir yang sedikit melengkung ke bawah, Jaemin menggeleng atas jawabnya. "Tidak mau digendong seperti itu," Tuturnya membuat Jeno menahan gemas.
Kini kedua tangan Jaemin merentang. Terbuka lebar, sebesar ukuran tubuh suaminya. " Ingin digendong seperti anak-anak, bukan digendong seperti karung beras."
Jeno terkekeh. "Haha, baiklah, sayangku yang manis. Mari, pangeran antar engkau ke meja makan." Jeno menerima rentangan tangan Jaemin ke dekapannya, kemudian dengan mudahnya mengangkat tubuh kesayangannya.
Jaemin menerima semua itu dengan senang. Dirinya melingkarkan tangannya pada leher Jeno lalu mendaratkan kepalanya pada bahu suaminya.
"Aigo, kenapa Lee Jaemin akhir-akhir ini manja sekali, huh? Sudah seperti bayi besar. Aku jadi kalah manja," Omel yang lebih tua dalam langkah mereka sambil menepuk-nepuk pantat Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka ; Nomin
RomanceSelisih kalimat seru penyerbu menyisakan seluruh kasih yang memburu. cr cover: canva, pin