Permintaan Bunda

302 38 1
                                    

Embusan napasnya senada dengan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Sudah setengah jam lamanya ia menunggu bis di halte depan kantornya.

Hari sudah mulai petang ketika ia selesai bekerja, namun kereta tak kunjung datang. Ia tertinggal jam semestinya.

Jaemin meraih ponsel miliknya di dalam tas. Mengirimkan pesan pada suaminya bahwa ia tak akan mampir lebih dulu ke kedai.

Mereka tinggal di rumah sewaan di daerah Seoul, sedikit lama perjalanan ke pusat kota. Namun sesekali mereka berkunjung ke rumah Jeno untuk menemui Ibu Jeno jika selesai dari kedai.

Ia memilih untuk segera pulang saja, pastinya kedai sudah tutup ketika ia sampai karena waktu tempuh memakan masa. Daripada ia mampir tak melakukan apapun, lebih baik ia langsung pulang saja, menghemat biaya.

Selesai ia mengirimkan pesan pada Jeno, sebuah mobil mewah terparkir di depannya.

Jaemin mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke mobil tersebut.

Tak lama dari itu, seseorang keluar dari bangku.

"Mari ku antar," ajak Mark tanpa basa-basi.

"Tidak perlu, Hyung. Akan merepotkan," tolak Jaemin halus.

"Apanya yang merepotkan? Aku hanya membawa satu orang saja, 'kan?" Kata Mark sedikit bergurau. "Mari, hari mulai gelap. Jadwal bis masih dua puluh menit lagi."

"Apa tidak apa-apa?" Jaemin masih tak enak.

"Kita bukan orang asing, Jaemin-ah." Mark merangkul Jaemin agar ia mau ikut pulang bersamanya.

Akhirnya dengan segala perlawanan terhadap rasa tak enaknya, Jaemin menerima tawaran dari teman masa sekolahnya.

Dalam perjalanan mereka, hanya beberapa konversasi yang terlibat. Jaemin masih tak biasa lagi berbincang dengan Mark setelah sekian lama.

Ia kehabisan pokok bahasan.

Lima belas menit waktu berlalu hanya diisi dengan radio.

Mark menepikan mobilnya di sisi jalan depan rumah Jaemin. Ia bahkan membukakan pintu sampingnya yang diduduki oleh Jaemin.

"Terima kasih, Hyung. Kau tak perlu berbuat seperti itu, aku jadi merasa tak enak," ucap Jaemin setelah turun dari mobil Mark.

"Kau berlebihan, Jaemin-ah. Begitulah sikap dominan sebenarnya."

"Ah, kalau begitu aku akan masuk, Hyung. Terima kasih atas tumpangannya." Jaemin meraih rambutnya untuk disampirkan di telinganya, ia merasa canggung.

"Eum, baiklah, aku pulang dulu, ya."
Mark meninggalkan tempat menuju kemudi.

"Hati-hati, Hyung." Jaemin melambaikan tangannya.

Kemudian setelah itu mobil melaju ke jalanan. Masih menyisakan Jaemin yang diam menunduk.

"Ada apa ini? Kau punya suami lagi?" Seseorang tahu-tahu datang menyerbunya dengan pertanyaan tak bermutu.

Jaemin mengangkat pandangannya ke arah Kang Ahjumma, tetangganya.

"Dia hanya temanku, bibi Kang," jawab Jaemin lembut.

"Kenapa aku baru lihat, ya? Teman barumu?" Tanya bibi Kang merapikan posisi keranjang sayur di pelukannya. "Pintar juga kau berteman dengan orang kaya."

"Dia teman masa sekolahku dulu, dia baru pulang dari Kanada," jawab Jaemin dengan disertai senyumnya yang paksa. "Mari bibi Kang." Jaemin segera pergi menuju unitnya.

"Dasar tidak sopan," gerutu bibi Kang.

Dalam langkahnya, Jaemin menahan segala bentuk sumpah serapahnya. Menghentakkan langkahnya kesal dan tergesa.

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang