Hujan mengguyur April

241 32 2
                                    

Embusan angin di bulan April terkadang menjatuhkan daun-daun indah berwarna merah muda yang membuatnya gugur. Sesekali mereka datang bersamaan mencipta hujan bunga sakura hingga menutupi permukaan. Udara yang terasa malah makin menghangat, layaknya suasana hati seorang pria di rumah sakit tempat bersalin sobatnya.

"Omo, yeppeuda.*" Tak henti-hentinya Jaemin memandangi wajah tenang seorang bayi perempuan di depannya.

"Hey, berhentilah memandangi putriku, nanti dia menangis." Akhirnya ibu dari bayi itu protes.

"Aish, memangnya aku menyeramkan?" Sebal Jaemin.

"Bukankan begitu?" Haechan tertawa dengan hati-hati.

Jaemin beringsut dari tempatnya semula, setelahnya ia berikan tatapan durjana kepada Haechan, tak lupa pula kedua tangannya yang Jaemin letakkan di antara pinggang rampingnya. "Meski begini dahulu banyak dominan yang menyukaiku, tau!"

Haechan memalingkan wajahnya, memalukan sekali, pikirnya. "Cih, baiklah tuan primadona. Aku mengaku kalah."

"Tapi ... " Jaemin menggantung kalimatnya. "Dia sangat cantik, Chan-ie. Sepertimu." Jaemin menoleh kearah sahabatnya itu.

"Mwoya? Tatapan apa itu." Haechan menjawab heran.

"Aku iri." Tatapan Jaemin menjadi sendu. Wajahnya bahkan kini ia tundukan ke bawah. "Aku ingin segera melihat buah hati kami sepertimu sekarang. Mengetahui bagaimana paniknya suamimu saat menghubungiku tadi. Melihat bagaimana romantisnya suamimu saat menemanimu melahirkan tadi. Aku kapan, ya?" Jaemin menatap langit-langit ruangan. Suaranya sedikit bergetar ketika mengucap kalimat di akhir-akhir.

"Aku yakin kau akan mendapatkan hal itu nanti. Hanya saja bersabar sedikit lagi."

Mendengar balasan Haechan itu, Jaemin menoleh pada sang pemilik suara, "Haechan-ie ... "

"Ah, kau, tak ada yang harus kau buat iri dariku!" Kalimat Haechan keluar terbata-bata. "Jeno sudah sangat romantis padamu, aku juga iri kalau begitu."

"Hei! Maksudmu apa memperhatikan suamiku? Kau mau merebutnya, hah?" Seketika suasana haru tadi mendadak cerah kembali. Mereka kembali bertengkar hanya karena hal-hal yang bodoh.

"Aku hanya menghiburmu, eoh. Enak saja, suamiku juga romantis, kau mengakuinya tadi."

"Tak ada yang dapat melewati suamiku!" Jaemin menyerang.

"Suamiku tampan dan gagah." Haechan tak ingin kalah.

Jaemin tertawa, "haha, kau pikir Jeno apa? Dia yang tertampan."

"Aish, suamiku kaya!"

...

"Hei-"

Hendak saja istri dari Lee Jeno itu menyerbu lagi, pintu ruang dibuka. Seseorang menunggu di bibir pintu.

"Sudah selesai?" Jeno mengukir senyum.

"Eung, wae*?" Tanya Jaemin.

Jeno putuskan langkahnya menuju ruang Haechan lebih dalam. Mendekati Jaemin dan kemudian merangkul pinggang istrinya erat. "Sudah malam, sayang."

"Benarkah? Pukul berapa sekarang?" Jaemin mendongak.

"Sebelas lewat dua puluh menit."

Embusan napas Jaemin menjadi balasan awal perkataan Jeno, "baiklah, ayo pulang." Jaemin mengistirahatkan kepala miliknya ke bahu Jeno.

"Haechan-ssi. Selamat atas persalinannya. Putrimu sungguh cantik. Kami pulang dulu, ya. Selamat malam," ucap Jeno.

"Haechan-ie. Aku pulang dulu, ya, nanti aku datang lagi." Suara Jaemin sedikit terpendam akibat Jeno yang sudah menyeretnya keluar.

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang