05. Lembar Kelima

154 31 22
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Terima kasih Teh Ajeng

dari Ayara
Adiknya Teh Ajeng

"Keracunan makanan?"

"Kalau saya boleh tahu, makanan terakhir yang dimakan sama Neng Aya apa?"

Ajeng berpikir tentang peristiwa semalam yang menyebabkan salah satu mie keluar dari hidung adiknya. Dadanya berdebar karena rasa bersalah, dia tidak mempersiapkan makan malam untuk Aya, dia juga tidak melarang Aya makan mie instan malam-malam.

"Mie instan."

"Nah, mungkin itu yang menjadi alasan mengapa Neng Aya sampai sakit perut," tuturnya. "Oh iya, saya sudah membuatkan resep obatnya, tolong diminum secara teratur."

"Baik Dokter, terima kasih."

"Ya, sama-sama."

Ajeng menghampiri Aya yang masih rebahan santai di ranjang sana, karena Aya masih lemas jadi dokter membiarkan dia rebahan saja.

"Sudah lebih baik, Ay?" tanya Ajeng.

"Iya Teh, sudah mendingan," jawab Aya.

Ajeng mencebikan bibirnya, lalu ia meraih kedua tangan Aya untuk membantunya beranjak turun dari ranjang tersebut. Sudah waktunya pasien lain masuk, mereka tinggal menunggu obat di ruang menunggu setelah ini.

"Teh, Aya ngga jompo," protes Aya. "Udah, Aya bisa jalan sendiri."

Beruntunglah komplek perumahan mereka dekat dengan klinik yang buka pagi-pagi, jadi Aya tertolong tepat waktu. Keduanya duduk berdampingan di bangku menunggu, menantikan nama Aya disebut untuk menebus obatnya. Di sana yang ada hanyalah obrolan orang-orang, Ajeng dan Aya sama-sama diam.

Ada rasa bersalah dalam diri Ajeng, mengingat dialah yang menyebabkan Aya makan mie instan semalam. Tapi, masa iya mie yang baru Ajeng beli sudah basi, padahal Ajeng masih ingat membeli mie itu sekitar kemarin lusa. Hari ini dia sampai izin tak masuk ke kantor demi merawat Aya, karena kalau ditinggal sendirian tak tega.

Ekor mata Aya melirik Teh Ajeng, jemarinya meremas celana piyama panjangnya yang masih melekat karena tak sempat ganti baju.

"Teteh."

"Apa?"

"Mual, ih."

Ajeng panik lagi, lalu buru-buru dia beranjak berdiri membawa adiknya ke toilet terdekat. Kasihan Aya, hanya karena mie instan bisa sampai sejauh ini. Dugaan utama mereka sudah pasti pada mie instan indosat itu, mie yang katanya disukai orang-orang karena rasanya yang candu. Tapi Aya langsung angkat tangan setelah ini, tak akan makan mie lagi.

"Duh, belum makan apa-apa kamu pagi ini," sesal Ajeng. "Jangan muntah lagi, atuh."

"Mual akunya, Teh," keluh Aya.

"Sebentar, Teteh lap dulu itu." Ajeng dengan pengertian mengelap air di sekitaran bibir Aya. "Kamu mah, kenapa ngga ngingetin Teteh? Kan, Teteh bisa maksain buat masakin kamu, atau nganter kamu nyari makan."

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang