21. Dia Bukan Ayara

147 36 31
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

"Ana, kamu suka mie ayam atau bakso?"

"Minumnya mau apa?"

"Atau kamu mau siomay?"

"Minumnya mau es teh atau jus jeruk?"

Siapa pun yang melihatnya terheran-heran, perubahan sifat Ayara begitu tiba-tiba. Dia bukan Ayara. Dia tidak seperti Ayara yang dikenal teman-temannya. Nathan pun dapat merasakan perubahannya, terlalu drastis dan terlalu singkat.

"Aya," panggil Nathan. "Kamu kenapa? Kunaon? What happen? Aya naon?" Nathan mengajukan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Aya mengerutkan dahinya. "Kenapa apanya? Kan, aku cuma nawarin ke Ana, lagian aku mau pesan, biar sekalian."

"Aku bisa sendiri, Ya," ujar Ana.

"Bareng sama aku, yuk!" ajak Aya.

Ana mengangguk, lalu dia mengikuti langkah Aya yang berjalan lebih awal. Tapi Aya tidak langsung meninggalkan Ana, dia malah menoleh terlebih dahulu untuk merangkul lengannya, sehingga mereka bisa berjalan berdampingan.

"Aku ulang tahun hari ini, jadi aku yang traktir kamu," kata Aya. "Tapi jangan bilang siapa-siapa, soalnya uangku cuma buat traktir seorang aja."

Ana menelan salivanya dengan susah payah. "Aya."

"Kenapa?"

"Kamu yang kenapa?" tanya Ana. "Ada apa?"

Aya mengerutkan dahinya tidak mengerti, dia menyeret lengan Ana agar segera memesan makanan yang diinginkan. Namun, Ana menahan dirinya sehingga membuat Aya kehabisan daya menariknya.

"Ayo!" ajak Aya. "Aku mau makan bakso sekarang, kamu mau apa saja terserah, tapi jangan lebih dari satu porsi saja, hehe."

"Kamu sakit, 'kan?" tanya Ana.

Aya terdiam seketika, senyuman yang sebelumnya menghiasi bibir ranumnya memudar. Namun, Aya tidak lama-lama menghapuskan senyumannya itu, ia kembali tersenyum sembari memegangi kedua bahu Ana.

"Aku mau minta maaf saja sama kamu, soalnya aku sudah jahat selama ini," ungkap Aya. "Bolehkan aku jadi baik ke kamu?"

"I-iya, iya boleh, Ya." Ana berucap dengan sedikit gugup. "Tapi ... beritahu aku alasannya kenapa."

"Aku ngga punya alasan apapun, Na," kata Aya. "Ayo sekarang pesan, aku lapar."

Ana tidak ingin menunda makan siang Aya, maka dia mengiakan perkataan Aya yang akan memesan makanan. Bakso yang dipilih, Ana juga sedang ingin makan benda bulat berisi cabe rawit melimpah. Lumayan meringankan pikirannya, supaya tidak terlalu stres setelah belajar di kelas.

"Aya," panggil Mahen. "Kuah baksonya ke mulut kamu, tuh." Mahen mengulurkan tisu kepada Aya.

"Kan, Mahen pacarnya Aya, kenapa ngga Mahen saja yang hapus?" tanya Aya, ia menyondongkan wajahnya kepada Mahen yang duduk di seberang sana.

Mahen gugup, sisanya salah tingkah karena perkataan Aya yang benar-benar tak terduga.

"Mahen juga belepotan itu," kata Aya. "Ke sini, biar Aya yang usap."

Anjani berdehem keras sekali, membuat sepasang insan yang seperti baru jatuh cinta itu menoleh.

"Jani kenapa?" tanya Aya. "Bukannya Jani suka sama Dika, ya? Kenapa ngga jadian aja kalian, biar romantis kayak aku sama Mahen."

Anjani dan Dika reflek saling menatap satu sama lain, keduanya melotot tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh Aya. Setelah ini akan keluar rahasia apalagi dari mulut Aya.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang