19. Lembar Kesepuluh

142 32 39
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Teteh masih ingat, ngga, ya?
Kalau tanggal 3 itu besok
Kalau tanggal 3 juni itu ulang tahun Aya
Teteh masih ingat, ngga, ya?

Teh ...
Maafin Aya
Aya pasti merepotkan

dari Ayara
Adiknya Teh Ajeng

Ajeng berdiri di hadapan Aya dengan raut wajah yang tidak bersahabat, di belakangnya Ana berdiri sambil menggelengkan kepala seolah mengatakan sesuatu. Tapi Aya tidak mengerti maksudnya, yang dia tahu Teh Ajeng pasti akan marah.

"Jadi kamu yang ngerusak sepeda Ana?"

"Iya."

"Atas dasar apa kamu melakukan itu?"

"Supaya dia jalan kaki, supaya dia tahu kalau dia tidak akan pernah bahagia tinggal di sini."

Aya tidak mau mengelak, dia tidak mau menambah masalah dengan banyak alasan. Biarlah dia jujur dengan kebenarannya, lebih baik sekarang ketahuan daripada nanti.

"Bagus, ya," ujar Aya. "Sudah berani mengadu sekarang."

"Teteh tahu dari Nathan, bukan dari Ana."

Kedua tangan Aya mengepal seketika, dia tidak percaya jika Teh Ajeng akan mengetahui itu dari salah satu temannya. Aya melangkah hendak memberi Ana pelajaran, namun Ajeng lebih cepat mencengkram lengannya sehingga langkah Aya terhenti.

"Kamu sudah berani membangkang sama Teteh, Ay?"

"Lepasin, Teh."

"Siapa yang mengajari kamu bersikap seperti ini?"

Aya mengempas cengkraman tangan Ajeng, dia menatap Ana berang dengan napas yang tidak beraturan. Amarah dalam dirinya menumpuk seketika, ingin rasanya dia melayangkan pukulan ke wajah Ana.

"Teteh," ungkap Aya. "Teteh yang membuat Aya seperti ini, Teteh yang tiba-tiba saja lebih membela gadis asing itu daripada Aya yang statusnya sebagai adik kandung Teteh."

"Makanya jaga sikap kamu, Ayara!"

"Teteh yang jaga sikap Teteh, Teteh yang harus berkaca sama diri Teteh, karena Teteh ... menjadi asing di mata Aya sekarang."

"Ayara!"

Aya tidak peduli, dia lanjut melangkah hingga berdiri herhadapan dengan Ana. Pandangan mereka bertaut, sorot Aya yang tajam beradu dengan sorot Ana yang lugu.

"Kamu itu pembawa sial, Ayana!" tandas Aya tegas dan lugas. "Anak haram seperti kamu—"

"AYARA DIJAGA UCAPAN KAMU!" bentak Ajeng tak terberantakan.

Ajeng berbalik, dia menarik lengan Aya hingga adiknya berdiri menghadapnya.

PLAK!

Ana memejamkan mata turut nyeri ketika mendengar sekaligus menyaksikan bagaimana telapak tangan Sang kakak menyentuh pipi Aya. Ini sangat mengejutkan, cara Ajeng memperlakukan Aya benar-benar berada di luar dugaan.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang