08. Lembar Ketujuh

121 29 16
                                    

- 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 -

Ana tidak lebih dari orang asing,
Aya benci cara Teh Ajeng memberi dia ruang masuk
Aya benci cara Teh Ajeng menyambut kedatangan dia
Aya benci cara Teh Ajeng menerima dia

Teh,
Ayana itu hanya orang asing
Nama Darmawan banyak di Bandung
Bukan hanya Ayah

Untuk pertama kalinya,
Aya benci sama Teh Ajeng
Rasanya Aya berhenti kagum sama Teteh

Teteh bahkan tidak tahu Aya bolos les hari ini

dari Ayara
Adik satu-satunya Teh Ajeng

Jika ditanya apakah pagi ini Aya baik-baik saja atau tidak, jawabannya sudah pasti tidak. Koper besar milik Ana sudah masuk ke kamar milik almarhum kedua orang tua mereka, pakaian milik gadis itu saja sudah tertata rapi di lemari, orangnya pun kini masih tidur nyenyak berselimut tebal di ranjang tersebut.

Aya menyibak selimut tebal itu kasar, mengusik tidur Ana yang mungkin saja kelelahan setelah melalui perjalanan panjang dari kota Jakarta. Katanya Ana datang ke sini menggunakan bus, jadi ada kemungkinan beberapa kali pergantian kendaraan hingga sampai ke tujuan.

"Bangun kamu!"

"K-kenapa, Ya?"

Aya berkacak pinggang. "Siapa suruh tidur di sini? Kemasi seluruh barang-barang kamu, dan turun dari ranjang itu, sekarang!"

"Tapi ini disuruh Kak Ajeng," kata Ana.

"Ngga ada!" Aya bersikeras menolaknya. "Ngga boleh, kamar ini milik almarhum, ngga ada yang boleh menempatinya, apalagi orang asing."

Ana beranjak turun dari ranjang itu, detik berikutnya Aya dengan kasar melucuti sprei hingga ranjangnya berakhir telanjang.

"Kamu mau apa?" tanya Ana.

"Saya mau buang ini," jawab Aya. "Saya ngga suka kamu tidur di sini, saya ngga suka kamu menempati kamar ini."

"Kak Ajeng yang menyuruh aku, Ya," kata Ana.

"Ini ada apa? Aya, bukannya sprei itu baru diganti kemarin lusa? Kenapa ditarik?"

Aya mengempas sprei di tangannya, lalu dia menghampiri Ajeng yang begitu masuk langsung menghujaminya dengan beberapa pertanyaan.

"Aya bakalan buang, Aya ngga sudi kalau gadis asing itu tidur di sini, bahkan kalau perlu lemarinya—"

"Kamu kenapa, sih, Ayara?" Ajeng memotong ucapan Aya dengan tidak habis pikir. "Dia bukan sampah, dia bukan kotoran, ngga ada salahnya dia tidur di sini. Kamu sendiri yang ngga mau berbagi kamar sama dia, 'kan?"

Aya tersenyum picik. "Jadi Teteh lebih belain dia daripada Aya, begitu?"

"Iya, tentu saja," kata Ajeng tanpa ragu. "Kenapa? Kamu tidak suka? Dia juga adiknya Teteh, jadi Teteh punya hak buat bela dia."

Aya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, lalu dia berbalik dan mengeluarkan pakaian Ana dari lemari secara cepat. Ana menghampiri Aya, dia menahan pergerakan Aya yang sebentar lagi akan menguras habis seluruh pakaiannya dari dalam lemari tersebut.

"Diam!"

Setelah memberinya peringatan, Aya mendorong Ana sampai gadis itu mundur dua langkah dari hadapannya. Kedua tangan Ajeng mengepal, ia mendengkus sebal dan melangkah lebar hingga berhasil mencekal kedua lengan Aya.

"Teteh lepasin!"

"Ayara, dengar!" Ajeng berucap tak kalah menekan. "Cara kamu bersikap sekarang ini benar-benar ngga baik, ngga sopan!"

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang