23. Terluka Parah

198 32 29
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

"Mahen."

"Mahen."

"Mahen bantuin Aya."

"Mahen."

Ajeng membelai wajah Aya, memandangnya dengan pedih sehingga tanpa sadar air mata jatuh meluruh begitu saja. Ajeng lantas menyeka air yang jatuh itu, ia tersenyum haru tatkala sepasang mata adiknya mulai terbuka.

"Aya," panggil Ajeng. "Ini Teteh, Ay."

"Teh." Aya membalas dengan nada yang serak. "Di mana Mahen?"

Ajeng menggelengkan kepalanya, kemudian mendaratkan satu kecupan lamat di kening Sang adik sebagai ungkapan terima kasih atas kesadarannya. Tentu saja Ajeng merasa sangat bersyukur, sebab Sang adik akhirnya membuka mata.

"Mahen di mana, Teh?" tanya Aya sekali lagi. "Mahen luka, Mahen berdarah, Mahen yang parah."

"Aya," bisik Ajeng.

"Mahen di mana, Teh?" Aya lagi-lagi bertanya. "Kasih tahu Aya, Mahen di mana sekarang, Mahen bilang suka sama Aya, Aya ngga boleh menyia-nyiakan Mahen, Teh."

"Aya, sudah cukup." Ajeng membelai surai hitam Aya dengan penuh kasih sayang. "Teteh bingung, Teteh harus jujur atau bagaimana."

"Bilang sama Aya sekarang, Teh." Aya memohon. "Aya mohon, Mahen terluka parah, Mahen ngga dengarin Aya, Mahen ngga ngeliat Aya seperti biasanya, Mahen parah, Teh."

"Kamu harus ikhlas, nya?" bujuk Ajeng dengan belaian yang beralih pada wajahnya. "Pembuluh darah di kepalanya pecah, Mahen ngga bisa bertahan, Mahen meninggal, Ay."

"Teteh~" isak Aya tidak percaya. "Teteh jangan bohongin Aya. Engga, ngga benar, ngga benar, Mahen pasti masih ada, itu ngga benar, engga, ngga!!!" Aya menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Mahen sudah dikebumikan, Ay," ungkap Ajeng. "Kamu harus ikhlas, ya? Mahen sudah tenang di sana."

Aya menggelengkan kepalanya. "Engga, Teteh jangan bohongin Aya, Mahen orang baik, Mahen ngga bakalan nyakitin Aya, jangan jauhin Mahen dari Aya, jangan Teh~"

"Aya, ikhlaskan." Ajeng merengkuhnya, berusaha menenangkan karena tahu akan seberapa dalam lukanya. "Ikhlaskan, Aya~"

Aya menggelengkan kepalanya, ia menggigit baju Ajeng untuk mereda jeritannya. Sekarang hanya Ajeng yang bisa mendengar isak tangis pedih dari Ayara, hanya Ajeng yang mendekapnya yang mendengar isaknya.

"Ikhlaskan, Ay~" lirih Ajeng. "Ikhlaskan."

"Kenapa Tuhan ngga ngambil Aya saja?" tanya Aya gemetar. "Kenapa Tuhan malah ngambil orang baik seperti Mahen? Kenapa Tuhan ngga ngambil Aya? KENAPA TUHAN NGGA NGAMBIL AYA, KENAPA?"

"Ayara, cukup!" tegas Ajeng.

Aya terbatuk-batuk setelah berteriak begitu, kemudian pelukan itu merenggang sehingga Ajeng beranjak mengambil segelas air untuk Aya. Dia pasti shock, seseorang yang tiba-tiba begitu baik memberikan sandaran kepadanya, tiba-tiba harus pergi untuk selamanya.

Mahen pergi.

Mahendra nama aslinya, dia tidak pergi untuk sesaat, tetapi selamanya.

"Apa karena Aya jahat?" tanya Aya. "Makanya Tuhan ngga ngambil Aya, Teh?"

"Engga Sayang, kamu ngga jahat." jawab Ajeng sembari mengusap air mata di wajahnya. "Kamu baik, kamu adiknya Teteh, kamu akan selalu menjadi adiknya Teteh, paham?"

"Aya adiknya Teteh?" Aya bertanya dengan sorotnya yang teduh. "Tapi kenapa Teteh lebih mengutamakan Ana daripada Aya?"

Ajeng tertunduk, jemarinya bertaut satu sama lain, merasa cemas dengan apa yang harus dia katakan kepada Aya.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang