16. Merindu

133 28 39
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Ini menjadi kali ke-lima Aya masuk kamar mandi, perutnya terasa panas dan beberapa kali meronta minta dikeluarkan. Sepertinya sebentar lagi Aya akan kehabisan cairan, makanan di kantin sekolah yang masuk ke tubuhnya benar-benar membuat dia kewalahan.

"Aya," panggil Ana. "Ini aku buatin jus apel, supaya kamu ngga keluar masuk kamar mandi terus."

"Ngga butuh!"

"Ini bisa sedikit mengurangi rasa sakit perut kamu, Ya."

"Kamu budeg atau bagaimana, sih?" tanya Aya setengah meringis, sebelah tangannya meremas bagian perut. "Saya ngga butuh perhatian kamu!"

"Mau dibuatin bubur?"

"AYANA!" bentak Aya tidak tertahankan. "Kamu ngga usah sok perhatian sama saya, kamu hanya orang asing di keluarga ini, kamu adalah alasan kenapa saya sama Teh Ajeng merenggang, paham?"

Ana tertunduk, dia memandangi lantai yang dingin dengan perasaan tidak enak.

"Sadar!" tegas Aya. "Kamu adalah kesialan yang membuat saya harus kehilangan seluruh kasih sayang Teh Ajeng!"

"Aku ngga sesial itu, Ya," ujar Ana.

"SAYA BENCI SAMA KAMU, AYANA!" bentak Aya tidak tertahankan. "Saya ... berharap kamu pergi dari keluarga ini, kamu tinggalkan keluarga ini, karena anak dari wanita simpanan seperti kamu ... tidak pantas ada di sini!"

"AYARA!"

Suara tegas dan lugas milik Kenan terdengar, Aya dan Ana menoleh ke sumber suara yang berasal dari seorang pemuda, dia masuk ke rumah dengan pintu utama yang terbuka lebar. Kenan sudah mengetuk pintu, tapi dia disambut oleh perdebatan yang akhirnya memaksa dia masuk tanpa izin.

"Kamu ngga boleh bicara seperti itu sama Ana," kata Kenan. "Bagaimana pun kalian bersaudara, kalian se-ayah."

"Jangan ikut campur, Ken," balas Aya. "Kamu ngga tahu apapun tentang aku ataupun anak wanita simpanan Ayah ini."

"Aya," panggil Kenan. "Seandainya kamu adalah Ana, apakah kamu tidak sakit hati? Pikirkan perasaan Ana, Ayara."

"Kenan!" tegas Aya tidak terima. "Dia datang ke sini cuma bawa surat wasiat ngga jelas dari wanita bernama Sekar, dia—"

"Sudah," potong Ana. "Nanti kalau Teh Ajeng sampai pulang dan mendengar ini, dia tidak akan suka."

"Ngga usah sok kamu!" sinis Aya.

Kenan meraih tangan Ana, lalu menyeretnya dari hadapan Aya yang tidak bisa mengejar karena lagi-lagi mendapatkan dorongan untuk buang air besar lagi. Sakit sekali perutnya, makan berlebihan memang tidak baik untuk tubuh. Sungguhan.

Semoga saja ini menjadi yang terakhir di malam ini, sebab perut Aya rasanya sudah kosong dan tubuhnya pun lemas. Ditambah melihat Kenan yang menyeret Ana pergi, entah apa yang akan mereka lakukan berduaan di luar sana. Ayana memang merenggut satu persatu hal yang Aya miliki.

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Ajeng duduk di tepian ranjang Aya, mengompres dahi Aya karena begitu pulang dia menerima kabar kalau Aya terkena serangan diare. Ketika mengecek ke kamarnya, suhu tubuh Aya malah naik, dengan keringat dingin di dahinya.

Sambil menemani Aya yang tidur, Ajeng diam-diam memijat pangkal hidungnya mereda pening. Dia sedang menjalani tes untuk naik ke posisi lebih tinggi lagi sekarang, jadi benar-benar sedang sibuk. Beruntunglah Ana ada di rumah, jadi Ajeng tidak terlalu cemas jika dia pulang larut malam sekali pun.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang