22. Mahendra?

171 32 37
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

"Mahen!!!"

"Apa Aya? Apa Aya? Ada apa Aya?"

Aya mengeluarkan dua gantungan kunci berbentuk kunci dan gembok, dia menyerahkan gantungan yang berbentuk kunci kepada Mahen.

"Pakai di tas kamu, deh," kata Aya. "Pasti lucu."

"Kenapa saya yang bentuknya kunci?"

"Kamu tahu bagaimana cara membuatku nyaman, kamu tahu bagaimana cara membuatku lupa akan perasaanku terhadap Kenan, kamu ... Mahen, bukan Kenan."

Kedua sudut bibir Mahen terangkat membentuk senyuman, betapa dia senang mendengar tutur kata Aya yang sangat menenangkan. Belum lagi Aya bicara sambil tersenyum begitu, menambah kesan manis padanya.

"Kamu mau jadi pacar saya?" tanya Mahen.

"Jadi kamu suka beneran sama aku?"

Mahen menganggukan kepalanya.

Duduk di bangku kayu tua sebuah taman, mendengar kehebohan saat anak-anak bermain di sekitaran sana, ada pun orang-orang yang sedang bersantai menunggu waktu magrib tiba. Aya menatap Mahen dengan lamat, memastikan tentang ungkapannya. Tidak ada kebohongan di mata Mahen.

"Mau?" tanya Mahen sekali lagi.

"Kamu tahu, Hen?" Aya beralih memandang langit yang mulai menjadi oranye itu. "Aku kalau sudah suka sama satu laki-laki, akan sulit berpalingnya."

Mahen turut memandangi langit sore itu. "Ngga apa, saya tunggu kamu siap."

"Yakin?"

"Iya, saya akan tarik kamu terus supaya lupa sama laki-laki itu." Mahen berucap sembari memejamkan matanya. "Izinkan saya mencintai kamu, Ayara."

"Cinta itu luka, Mahen," ungkap Aya. "Kamu mau terluka?"

"Cinta itu bahagia dan luka, Aya," balas Mahen.

Tes!

Satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya, Aya memaksa senyum sembari menyeka air mata tersebut. Mahen seperti peka terhadap Aya, ia menoleh.

"Aya nangis?" tanya Mahen. "Ngga apa, kalau Aya pengin nangis, nangis aja."

Aya mengangguk sambil tertunduk, kedua tangannya terus bergerak menyeka air mata yang hendak keluar dari pelupuk matanya. Dadanya sesak lagi, jika diingat kembali bagaimana kehidupannya menjadi sangat hancur hanya karena kehadiran satu orang yang belum diketahui secara pasti asal-usulnya.

"Aya cuma kangen sama Ayah," ujar Aya.

"Mau ke makam Ayah kamu?"

Aya menoleh. "Mahen ngga keberatan ngantar Aya ke sana?"

"Saya lebih keberatan kalau ngebiarin kamu menangis sedih," kata Mahen. "Dan lebih keberatan lagi kalau sayah gendong kamu sampai ke makam sana."

"Mahen!!!" pekik Aya sambil memukul lengan Mahen geram, tapi dia tidak bisa menahan tawanya atas kekonyolan Mahen. "Bener, ya? Aya kangen banget sama Ayah, Aya pengin peluk Ayah."

Mahen beranjak berdiri, ia mengulurkan tangannya memberi bantuan. Aya menerima uluran tangan tersebut, beranjak dengan sedikit menerima tarikan dari Mahen.

"Gantungan kuncinya dibeli di mana ini?" tanya Mahen.

"Tuh, Bapak yang duduk di sana!" Aya menunjuk dengan dagunya. "Habisnya kasihan, dari tadi ngelamun terus, aku beli sepasang, deh!"

"Kamu baik banget, sih!" kagum Mahen sambil terkekeh. "Ngga salah saya suka sama kamu."

"Apaan, sih!"

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang