24. Tidak Tahu

174 34 18
                                    

- 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 -

Kematian memang tidak dapat diprediksi, kematian itu sudah pasti bagi makhluk yang hidup.

Aya terduduk di kursi roda, memandang getir tanah basah yang ditaburi bunga-bunga. Dia tidak pergi sendirian, ada Ana di belakangnya yang mendampingi. Belum ada batu nisan dengan nama Mahendra, hanya ada dua kayu yang dijadikan sebagai tanda.

"Kamu pulang saja, Na."

"Aya, aku ngga mungkin ninggalin kamu sendirian di sini, nanti Teh Ajeng nyariin kamu."

"Ngga akan, Na." Aya menggelengkan kepalanya. "Teh Ajeng ngga peduli sama aku, Teh Ajeng lebih sayang sama kamu."

"Itu ngga benar, Aya." ucap Ana sembari membelai surai hitam Aya. "Teh Ajeng sayang sama kita berdua, Teh Ajeng bakalan khawatir."

"Teh Ajeng lupa sama ulang tahun aku, Na."

"Siapa bilang?"

Aya menoleh, dia menatap Ana yang masih berdiri di belakangnya dengan senyuman tipisnya.

"Teh Ajeng menyiapkan pesta kecil-kecilan di rumah, teman-teman sudah menunggu di rumah, Teh Ajeng juga ngirim pesan ke Mahen buat pulang tepat waktu."

Aya terpaku membisu.

"Nanti kita pulang, kita lihat hiasan di rumah, deh."

Bibir Aya menjadi kelu.

"Kata Teh Ajeng, kalo ngucapin malem-malem takut bosan, jadi Teh Ajeng secara diam-diam chat-an sama teman-teman kamu," beber Ana. "Jadi pesta di rumah, karena belum selesai Mahen ngajuin dirinya buat nemanin kamu keluar biar pesta di rumah sesuai dengan harapan."

"Teh Ajeng sayang sama aku, Na?"

Ana menganggukan kepalanya. "Teh Ajeng bahkan sampe ngga tidur pas ngebuat kue ulang tahun kamu, masih di kulkas sekarang kayaknya, aman."

"Aku pikir Teh Ajeng udah ngga peduli sama aku, soalnya-"

"Aya!"

Seruan itu berasal dari Kenan, pemuda yang tampak berlari dengan membawa sebuket bunga di tangannya. Ana balas tersenyum padanya, melambaikan tangan tanda sapaan. Melihat interaksi itu membuat Aya sadar diri, bahwa Kenan mungkin sudah terjatuh ke dalam pesona Ayana.

"Benar dugaan saya, kamu pasti di sini."

"Ya sudah, kalian pulang saja," kata Aya. "Aku masih mau di sini, mau nemenin Mahen."

Ana dan Kenan menatap satu sama lain, kemudian Ana menggeser posisinya sehingga mendorong Kenan agar berdiri di belakang kursi roda tersebut.

"Aku percaya Kenan bakalan nemenin kamu, Ya," ucap Ana. "Bukan aku kesel atau apa, tapi aku ... sudah ada janji sama Nathan, hehe."

"Maksudnya apa ini?" tanya Aya bingung.

"Aku ada janji sama Nathan," katanya. "Ken, jangan sampai Aya kenapa-kenapa, atau kamu ... bakalan kena akibatnya!"

Kenan tertawa kecil. "Iyah, iya tenang saja, saya jagain Aya, kok."

"Aya, aku pamit sekarang, ya!" Ana menepuk bahu Aya dua kali. "Mahen, Ana ngga bisa nemenin Aya sekarang, tapi Kenan bisa dipercaya, kok."

"Hati-hati di jalan, Na!" pesan Kenan.

"Thanks!"

Ana benar-benar pergi setelah itu, membuat tanda tanya besar di benak pikiran Aya. Dia menoleh, menatap Kenan yang saat ini berdiri di belakangnya siap mendampingi.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang