18. Mengakui Kekecewaan

127 38 27
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

"Assalamualaikum, Ayah~"

"Hehe, maaf Aya baru datang ke sini, habisnya Aya sibuk."

Aya mengusap batu nisan tersebut dengan perlahan, dia juga mengecupnya lamat. Kepergian Sang ayah sempat membuat kehidupan Aya hancur, namun berkat keberadaan Teh Ajeng dia bisa bangkit untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini.

"Ayah," panggil Aya. "Aya butuh pelukan Ayah banget sekarang, sama kayak dulu pas Aya jatuh dari sepeda terus Ayah peluk Aya."

Aya tersenyum getir dengan sebelah tangan yang terus mengusap batu nisan tersebut. Dia menahan air mata kerinduan karena menangis di sini tidak ada untungnya, yang ada membuat Ayah Darmawan tidak senang melihatnya. Siapa tahu Ayah Darmawan melihat dari tempatnya saat ini.

"Aya kangen sama Ayah."

"Aya kangen sama suara Ayah."

"Aya kangen banget sama pelukan Ayah."

Kenyataan bahwa Aya tumbuh dengan Sang ayah, sebab ibunya dinyatakan meninggal setelah melahirkannya. Aya juga menyayangi ibunya, tetapi dia tidak tahu bagaimana kasih sayang ibu yang katanya sepanjang masa. Dia tidak akan membenci ibunya, karena dia tahu seberapa sulit seorang ibu melahirkan anaknya.

"Ayah sudah ketemu sama Ibu di sana?"

"Ceritain sama Aya, dong, Yah."

"Ibu pasti cantik, ya?"

"Ibu pasti mirip sama Teh Ajeng, cantik terus pengertian."

"Kalau Aya ini dapat bonus ganteng katanya, pasti dari Ayah, hehe."

Aya memandang lamat nama yang tertera di batu nisan tersebut, sepasang matanya memanas padahal dia sudah bersusah payah untuk menahan tangis. Sejurus kemudian air mata itu meluruh, lengan Aya tergerak menyekanya karena tak mau menjatuhkan air mata di makam almarhum.

"Aya nangis sedikit, boleh?"

"Habisnya Teh Ajeng menghilang, dia bukan Teh Ajeng yang Aya kenal lagi, Yah."

"Kok, Ayah ngga bilang sama Aya kalau Ayah punya wanita lain selain Ibu."

Kini kedua telapak tangan Aya terangkat, menutupi wajahnya yang terus berair. Rintik gerimis menyambutnya, alam seperti ikut menangis bersedih. Aya masih belum menyadari akan turunnya hujan, dia masih menangis dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya, bahu itu bergerak naik turun.

"Aya kangen sama Ayah~" isak Aya setelah merasa bahwa dia siap untuk bicara. "A-ayah pulang, Aya sendirian~"

Kedua tangan Aya melipat di atas gundukan tanah berumput hijau itu, ia menenggelamkan wajahnya di sana menuntaskan tangisnya. Buliran air hujan menjadi lebih sering, punggung Aya mulai basah. Hingga tiba-tiba saja air hujan berhenti mengguyur tubuhnya, membuat Aya segera mengangkat kepalanya memastikan.

Mengapa hujan tiba-tiba berhenti?

Aya terkejut saat hanya dirinya saja yang tidak kehujanan, sementara di depan sana hujan mengguyur cukup deras, suaranya saja sampai kedengaran. Perlahan ia mendongak, dilihatnya payung berwarna hitam menjaga dirinya dari derasnya hujan sore ini.

Mahendra, atau yang lebih sering disapa Mahen berdiri di sana, memayungi Aya agar tak basah. Payung itu tidak hanya memayungi Aya, tapi juga memayungi makam alm. Ayah Darmawan, sedang yang memeganginya membiarkan dirinya kehujanan.

"Mahen."

"Sok, selesaikan saja, saya tunggu di sini."

"Mahen, kamu ngapain di sini?"

Mahen berjongkok di samping Aya, ia menyeka air mata yang menjejak di kedua pipinya.

"Maaf saya ganggu waktunya," sesal Mahen. "Habisnya takut kamu sakit, hujan pertama di bulan Juni takut menyakiti kamu."

Aya menatap Mahen lamat, tidak percaya bahwa dia akan datang ke sini. Membawa payung sehingga Aya tidak kehujanan.

"Nanti kamu rarieut alias flu," katanya.

"Mahen," panggil Aya.

"Iya?"

"Kok, kamu tiba-tiba selalu hadir di samping aku?"

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

"Alhamdulillah, aku pikir kamu ke mana, kata Teh Ajeng jam enam biasanya kamu sudah di rumah kalau habis les."

Aya menatap Ana dari atas sampai ke bawah, menilainya. Sejurus kemudian Aya melenggang masuk, menyenggol bahu Ana sedikit kasar sehingga tubuh gadis itu mundur selangkah dari tempatnya berdiri.

"Kamu ke mana saja, Ya?" tanya Ana. "Aku takut kamu kenapa-kenapa, soalnya kemarin kamu habis jatuh."

Aya tidak menjawabnya, dia hanya terus melangkah hingga sampai di ambang pintu kamar.

"Teh Ajeng bilang kamarnya mau direnovasi karena ada yang bocor, jadi aku—"

"Keluarkan semua barang-barang itu dari kamar saya," potong Aya tanpa berniat masuk ke dalam. "Tidur saja di gudang, saya ngga sudi sekamar sama kamu."

Ana berjalan menghampiri Aya, mau tidak mau dia harus mengambil barang-barangnya dari kamar Aya. Kamar Teh Ajeng sudah padat, tentu akan menambah padat jika sampai Ana pindah ke sana.

"Sejak ada kamu, ya." ujar Aya sambil melipat kedua tangan di bawah dada. "Hidup saya jadi ngga nyaman, bahkan kamar orang tua saya saja sampai bocor, pasti karena kamu."

"Aya," panggil Ana. "Aku ngga punya siapa-siapa selain kalian, aku juga ngga bakalan ke sini kalau Bunda masih ada."

"Assalamualaikum~"

"Waalaikumsalam."

"Aya, biarkan Ana tidur sama kamu, ya? Atau kamu tidur di kamar Teteh, biar Teteh yang di kamar kamu sama Ana."

"Kamar ini milik Aya, Teh," kata Aya. "Orang asing ngga bisa tidur di sini, ngga ada hak!"

"Teteh capek, Teteh lagi malas berdebat, kalau begitu Teteh yang tidur sama kamu dan Ana biar di kamar Teteh saja."

"Ambil semua itu." Aya menyuruh Ana. "Keluarkan semua barangnya dari kamar saya, simpan di gudang saja."

"AYARA!" bentak Ajeng tidak tertahan. "Jangan menambah beban pikiran Teteh, ya!"

"Teteh ngga mikirin perasaan Aya, kamar ini milik Aya, Aya yang punya—"

"Tapi ngga sampe nyuruh nyimpen di gudang juga, dong, Ya!" Teh Ajeng berkata dengan napas yang tak beraturan. "Kamu harus mikir, kamu sudah besar, kamu sudah dewasa, dipake otaknya!"

"Kali ini Aya kecewa sama Teteh, sangat."

Aya menghampiri Ana, dia menarik paksa lengan Ana dan mendorongnya keluar dari kamar. Melihat itu membuat Ajeng tidak tinggal diam, langsung saja Ajeng melangkah menahan pintu yang akan ditutup.

"Teh, awas."

"Jangan dorong-dorong Ana, dia adik Teteh juga."

"Teh," panggil Aya gemetar. Kemudian air mata Aya meluruh begitu saja, sulit bagi Aya membendung air mata sekarang. "Sakit hati Aya sekarang, Teh~"

Sorot Ajeng meneduh seketika, dia melihat tangis pedih dari adiknya yang membuat hati terenyuh.

"Tolonglah, Teh~" pinta Aya. "Jangan paksa Aya buat nerima Ana, Aya ngga bisa, Teh."

Ajeng memijat pangkal hidungnya mereda pening, dia tidak bisa menahan rasa sesak di dada ketika melihat Sang adik menangis seperti itu.

"Aya," panggil Ajeng. "Kamu itu sudah besar sekarang, kamu harus mengerti."

Aya menggelengkan kepalanya, dia menyeka air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Dilihatnya Ana yang tampak menunduk, tak enak dengan situasi saat ini.

"Aya ngga suka sama Ana, dia merenggut semua yang Aya punya."

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang