10. Sesak

143 30 36
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Hancur.

Berantakan.

Begitu keadaan Aya setelah bangun dari tidurnya. Suhu tubuhnya juga naik, tetapi Aya masih memaksakan diri untuk pergi ke kamar mandi bertujuan menyegarkan dirinya. Aya masih berdiri di depan cermin kamar mandi, berpegangan pada wastafel dengan mata memerahnya. Pandangan Aya begitu sayu, jika ada yang meraba keningnya pasti sudah merawatnya serta mengompresnya. Karena sungguhan, Aya demam tinggi jika dirasa-rasa.

Secara reflek Aya meremas tepian wastafel itu, ia memejamkan matanya dan menengadah agar air mata tidak lagi jatuh. Dia pikir air matanya sudah terkuras habis semalam, tapi nyatanya masih saja ada air yang keluar begitu saja. Meski Aya sudah menengadah sekali pun, pipi itu harus dibasahi air mata lagi.

Teh Ajeng merupakan satu-satunya keluarga yang Aya miliki, tiba-tiba saja berpaling pada orang baru yang belum jelas statusnya. Tentu saja Aya tidak bisa menerima, terlebih ada banyak perkataan Teh Ajeng yang menyinggung perasaannya.

"Aya, kamu ada di dalam?"

Aya menoleh ke arah pintu, pertanyaan yang berasal dari Teh Ajeng itu terdengar. Lantas Aya menyalakan kran air, bertujuan memberitahu kepada yang bertanya bahwa ada seseorang di dalam kamar mandi. Ketika telapak tangannya menyentuh air, Aya merinding seperti akan menggigil.

Sebelah tangan Aya terangkat, memukul-mukul bagian dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Aya membuka mulutnya sebagai jalur bernapas karena saking sesaknya dada itu saat ini. Pandangan Aya mulai memburam, pendengarannya pun tiba-tiba saja berdengung. Ini sesak yang tak pernah Aya rasakan sebelumnya.

Beberapa persen sakit fisik biasa berawal dari sakit hati.

Pintu kamar mandi terbuka, Aya menoleh dan mendapati Ajeng yang berdiri dengan keterkejutannya. Ternyata Aya sengaja tidak mengunci pintu, dia hanya tidak mau mati membusuk di kamar mandi akibat dari sakit hatinya terhadap Teh Ajeng.

"Aya," panggil Ajeng.

Aya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman, tentu dengan mata yang menyorot sayu menandakan dia tidak baik-baik saja. Saat Ajeng hendak melangkah mendekat, sebelah tangan Aya terangkat menolak kedatangannya.

"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Ajeng memastikan.

"Ya kalau Teteh mikirnya Aya baik-baik saja, ya baik." kata Aya, ia mulai membasuh wajahnya dengan air. "Tapi ya, Teh. Dada Aya sakit, ngga tahu kenapa tiba-tiba saja sakit."

Ajeng selangkah maju mendekat, tapi Aya menoleh dan membuatnya urung untuk lebih dekat.

"Tapi Aya ngga apa-apa," kata Aya. "Kan, Aya bukan adik yang teteh harapkan."

"Aya, bukan begitu maksud Teteh."

"Terus saja mengelak, terus saja mencari alasan supaya Aya yang salah."

"Aya," panggil Ajeng lemah lembut. "Dengarin Teteh."

"Aya mau mandi, Aya ngga lagi pengin dengarin penjelasan Teteh." kata Aya sambil mematikan kran air itu. "Keluar Teh."

Ajeng menelan salivanya dengan susah payah, mau tidak mau ia mundur dari hadapan Aya karena menerima perintah untuk keluar saja. Aya menutup pintu kamar mandi, kali ini dia berani menguncinya karena sudah ada niat membersihkan diri.

"Anjing!"

Aya mengumpat tertahan dengan diselingi tinjuan ke tembok, punggung tangannya jelas memerah karena saking kerasnya ia meninju tembok kamar mandi. Tapi Aya masih mati rasa sekarang, mungkin rasa sakitnya akan terasa nanti.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang