13. Tanpa Sadar

129 30 24
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Aya merobek beberapa halaman di buku hariannya secara tidak sadar, ia melamun panjang ketika memikirkan akan menulis apa, sampai pada akhirnya tangan itu malah merobek beberapa halamannya. Tentu tidak disengaja, sebab pandangan Aya begitu kosong sekarang.

Notifikasi pesan masuk baru menyadarkannya dari lamunan, Aya terkejut bukan main saat buku hariannya itu kini hanya tersisa beberapa lembar kosong lagi. Dia memunguti lembaran kertas yang beberapa jatuh ke lantai, berusaha untuk menempelkan kembali tetapi itu membutuhkan ketelitian.

"Astagfirullah~"

"Aya nyebut, Ya~"

Aya mengusap dadanya, bisa-bisanya dia melamun sampai tidak sadar dengan tindakannya. Dia takut hal itu terjadi berulang dan mungkin nanti yang rusak bukan hanya bukunya.

Tangannya menggapai benda pipih, menerima pesan dari Mahen.

Mahen

|| Ya
|| Ayara
|| Anaknya Bapak Darmawan
|| Mau makan sate?

Tumben ||
Ada apa, nih? ||

|| Mumpung ada kesempatan
|| Kan, jarang makan sama kamu
|| Mau, 'kan?

Maulah ||
Mana bisa aku nolak ||
Sate Mang Dadang, 'kan? ||

|| Iya
|| Sebelahan sama Martabak Mang Diding
|| Terus ada boba Mang Dudung juga
|| Gaslah
|| Gabut saya di rumah

Okeh ||
Ke sini aja ||

|| Sip

Aya tidak tahu kalau Mahen akan mengajaknya jajan sate, tapi hal itu bisa menjadi penghibur Aya yang sedang dilanda lara. Teh Ajeng juga belum pulang, tadi Ana bilang katanya akan lembur. Aneh, Aya bahkan tidak menerima pesan kalau Teh Ajeng akan lembur.

Berbekal jaket hoodie abu kesayangannya Aya siap pergi, dia hanya perlu membawa ponsel saja kalau diajak pergi begini. Tidak akan rugi jalan sama teman laki-laki itu, biasanya dibayarin. Meskipun ini merupakan kali pertama untuk Aya pergi bersama teman laki-laki, tapi dari pengalaman Aruna dan Anjani dia belajar.

"Aya, Teh Ajeng pulangnya agak malam banget, kalo kamu lapar aku sudah buat nasi goreng di dapur."

"Ngga makasih."

"Kamu mau ke mana?"

"Bukan urusan kamu."

"Aya, aku ngga bisa sendirian kalau malam-malam, aku takut."

Aya melipat kedua tangan di bawah dada, dia menatap Ana dari atas sampai ke bawah menilainya. Gadis itu benar-benar terlihat lugu. Dia pikir orang kota akan bersikap angkuh dan banyak tingkah.

"Paling nanti ada yang tiba-tiba mengetuk pintu," kata Aya. "Jaga-jaga saja, biasanya di sini suka banyak yang jahil."

"Aya," panggil Ana.

"Apa?" Aya menyahut sambil sedikit mengangkat dagunya angkuh. "Saya mau pergi, suruh siapa datang ke sini."

Aya melengos pergi, meninggalkan Ana yang tidak bisa mengikutinya karena tahu akan terjadi perdebatan sengit nantinya. Terlebih Aya seperti sudah siap pergi, akan sangat sulit menahannya.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang