019| Wound seed

303 52 9
                                    

FROM U

•••


Kehamilan Saehan seolah hadir di waktu yang tepat, sewaktu menikah dengan Jimin sebenarnya Saehan hanya menunggu tahap wisuda. Kuliahnya tidak sesibuk saat tahun kedua dan ketiga, kuliah sebenarnya melelahkan terlebih lagi Saehan harus beradaptasi di tahun pertama, sekarang Saehan tidak percaya telah melalui masa-masa kuliahnya yang panjang. Reika juga sama, mereka satu angkatan. Meski begitu, Saehan sama sekali tidak pernah menganggap gadis itu sebagai teman seperkuliahannya. Hari ini, Saehan baru saja membuka grub chat, dia membaca pesan-pesan singkat dari orang-orang satu angkatanya mengenai acara wisuda. Kebanyakan dari mereka berdiskusi mengenai penampilan untuk wisuda nanti  —seperti busana, riasan dan gaya rambut. Percakapan itu terjalin sangat riuh, terutama Reika yang terlihat paling aktif di dalam room chat.

Saehan ingin sekali menimbrung dalam percakapan grub itu, lantas dia mengetik beberapa kalimat di sana. "Aku punya sepasang heels Stuart Weitzman, ada yang tertarik memakainya?"

Itu adalah salah satu koleksi heels termahalnya, Saehan mencoba berinteraksi, tetapi sayang sekali selama lima belas menit Saehan menunggu dalam obrolan grub yang aktif, tidak ada satu pun orang yang membalas pesannya. Saehan berakhir keluar dari room chat sambil mendengus. Padahal Reika terlihat mudah sekali bertukar pesan oleh orang-orang di dalam grub chat, tetapi ketika Saehan mencobanya, ternyata sangat sulit, dia menyerah, Saehan tidak pernah bisa punya banyak teman seperti Reika.

"Kapan suamimu pulang, sayang?"

Saehan menoleh saat baru saja dia mematikan ponsel. Dilihatnya Bibi Namje baru saja manaruh sepanci sup buntut di atas meja makan, Saehan melirik jam, masih pukul tiga, saat bertukar pesan dengan Jimin beberapa saat yang lalu —sebelum membuka pesan grub, katanya pria Shin itu akan menjemput pukul lima sore nanti.

"Sebentar lagi Bibi Oh," Saehan mencium bau sup yang mengunggah seleranya, lantas dia bicara. "Apa ini buntut sapi? Baunya enak sekali." Bibi Oh menjawab dengan anggukan ramah.

"Apa boleh supnya aku bawa pulang? Suamiku suka sekali dengan sapi."

"Oh tentu saja, Nona." Bibi Oh menjawab sambil tertawa ringan. "Nona, aku masih tidak menyangka kau sudah menikah sekarang. Seingatku, kau masih bayi waktu aku memandikanmu di bak mandi keramik."

Saehan tekekeh. "Apa Bibi Oh kenal ibuku dengan baik?"

"Ya ampun sayang. Seperti kau dan Sarah, seperti itulah kami." Bibi Oh Namje menjawab sambil melepas apronnya dan duduk di depan Saehan sambil membawa sebuah melon dari eskas.

"Itu berarti kalian berteman. Orang seperti apa ibuku?" Saehan melihat Bibi Namje membelah melon dan mengasingkan bijinya ke wadah khusus, dia kemudian mencondongkan arah duduknya untuk mendengar Bibi Oh bercerita.

"Wanita yang cantik dan mahal." Bibi Oh kemudian tertawa ringan sambil menyandingkan dua potong melon ke hadapan Saehan, Saehan langsung saja melahapnya sambil mendengarkan kalimat-kalimat Bibi Oh.

"Bibi tau, ini baru pertamakalinya aku mendengar tentang ibu," kata Saehan.

"Jadi ayahmu tidak pernah cerita?" Bibi Oh menoleh dan Saehan mendorong sepiring melon yang sudah dipotong-potong ke arah Bibi Oh —isyarat agar Bibi Oh juga ikut makan bersamanya.

Saehan menggeleng. "Kalau dulu, kira-kira ayahku orang yang seperti apa?" Saehan akhirnya bertanya lagi.

Mendengar pertanyaan Saehan Oh Namje mendesis, itu membuat Saehan tertarik seolah Bibi Oh tahu akan sesuatu, Saehan memasang pendengaranya dengan baik. "Ayahmu cukup keras, dia sulit memaafkan orang lain, terutama saat mengetahui istrinya seorang pecandu dan terancam masuk penjara."

From U [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang