Bab 33 "Eksekusi Rencana"

94 17 0
                                    

Istana ini masih sama bentuknya sejak aku terbangun di tubuh Pangeran Pertama Quon, Ho Fengying. Pilar-pilar berwarna merah masih berdiri kokoh menopang Aula Matahari, yang merupakan tempat yang sering digunakan untuk pertemuan, juga merupakan Ruang Takhta Raja Quon, Ho Hongli. 

Jajaran pilar merah itu mengingatkanku pada para pelayan yang tak melakukan salam hormat pada Feng–aku. Mereka sibuk menggantungkan lampion di atap. Padahal aku sedang melewati lorong tempat mereka memasang lampion. Feng benar-benar dianggap sampah oleh kerajaannya.

Kereta kuda berjalan ke sisi barat Aula Matahari. Memperkecil jarak antara kami dan pilar-pilar besar. Beberapa prajurit berdiri di setiap pilar Aula Matahari. Mereka memakai baju besi yang menutupi dari batu hingga bagian perut para prajurit. Tombak panjang setia menemani tugas mereka berjaga.

Kami tiba di sebuah lapangan yang penuh dengan prajurit. Bermacam peralatan latihan fisik sedang dipakai oleh mereka. Sekelompok prajurit ada yang sedang memanah papan sasaran di area panahan. Yang lainnya ada yang berduel menggunakan pedang. Ada juga yang bertarung dengan tangan kosong, saling menyerang menggunakan jurus kultivasi yang dimiliki masing-masing prajurit.

"Ini adalah Barak Prajurit." Lan membuyarkan konsentrasiku saat hendak mengamati sebidang lapangan yang dikelilingi pepohonan rimbun ini. "Istana Pangeran Kedua tak jauh berada disini."

"Mengapa kita pergi ke sini?" tanyaku. Agak aneh saat kereta kuda berjalan menuju ke tempat pelatihan prajurit ini. Bukankah Lan berkata bahwa rampasan perang ini akan dikirim pada Wei?

"Ini adalah jalan ke Istana Harimau, kediaman Pangeran Wei." Pantas saja kereta ini berjalan ke Barak Prajurit. Ini merupakan jalan menuju istananya Wei. Cukup masuk akal jalan menuju istana Wei ini melewati Barak Prajurit. Wei adalah seorang jendral kerajaan. Jarak yang dekat antara Barak dan kediamannya mempermudah pergerakan prajurit saat ada perintah dari Baginda Raja.

Kereta kuda berhenti saat kami sudah sampai di sebuah istana yang dipenuhi para prajurit. Aku, Lan, dan empat bawahanku langsung menurunkan barang bawaan dari kereta kuda. Beberapa prajurit yang berjaga sigap membantu kami mengangkut semua peti dan alat-alat perang di gerobak ke dalam Istana Harimau kediaman Wei. Ternyata, sang pemilik sudah menyambut kami di pintu masuk istananya.

"Selamat datang, Urusan Jendral Gong." Wei berdiri di balik pintu yang sudah dibuka prajurit penjaga istana. Ia merentangkan kedua tangannya, menunjukkan sikap ramah pada kami. Senyuman lebar terpampang di wajah yang biasanya cemberut itu. Seakan ia sudah menunggu kedatangan emas dan berlian ini.

Aku, Lan, para bawahanku, dan para prajurit meletakkan peti dan gerobak di hadapan Wei. Para prajurit kembali ke tempatnya semula. Yang tersisa adalah kami yang sedang membungkuk hormat pada Jendral Quon itu.

"Salam, Yang Mulia Pangeran Kedua." Lan berucap hormat pada Wei. "Maafkan keterlambatan kami."

"Tidak usah khawatir, Lan." Kami semua bangkit kembali setelah Wei berucap. Aku menatap wajah Wei langsung. Ekspresi senyumnya masih belum luntur. "Aku bisa bersabar demi emas dan berlian."

"Sesuai dengan perjanjian, Jendral Gong mengirimkan ini sebagai pertukaran dengan makanan."

"Bersabarlah sebentar, Lan. Beras dan sayuran akan segera dikirimkan."

"Kami harap kiriman sumber daya makanan dari Quon dikirim secepatnya." Lan mendongak, menatap Wei lansung. Ia berani sekali menatap mata seorang jendral di istananya sendiri. Wei yang ditatap langsung oleh Lan tidak langsung marah. Ia malah mempertahankan kontak mata dengan utusan Jendral Gong itu.

"Aku akan mengatur skenario yang masuk akal untuk alasan pada Baginda Raja." Wei menatap Lan sengit. Tatapan yang sama saat ia menantangku di Aula Matahari hingga sebuah kekacauan terjadi. Namun Wei mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lebih tepatnya ke arahku yang sedang memperhatikan percakapannya dengan Lan. "Siapa orang-orang ini?"

The Trash PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang