Bab 3 "Orang Asing"

482 51 6
                                    

Mendadak seseorang berteriak kencang, "mengumumkan kedatangan Yang Mulia Raja Ho Hongli, Permaisuri Qui Mei Yin, dan Pangeran Kedua Ho Weiheng!"

Seseorang meneriakkan nama-nama asing yang tak pernah kudengar sama sekali. Aku bahkan belum pernah melihatnya di buku pelajaran sejarah. Aneh sekali.

Ketiga orang itu masuk ke kamar yang kutempati. Mereka mengenakan pakaian yang berkilau dan mewah. Seorang kakek menggandeng seorang perempuan paruh baya. Kakek dan perempuan itu memakai hanfu merah dengan sulaman emas. Motif hanfu sang kakek yaitu naga, sedangkan hanfu perempuan itu angsa. Mereka berdua berjalan beriringan sambil tersenyum ramah. Sedangkan satu lagi, seorang remaja mengenakan hanfu putih, di badannya melekat baju zirah emas yang mentereng. Alis tebalnya saling bertaut. Tangan besarnya bersedekap di dadanya yang bidang. Ia berjalan di belakang kakek dan perempuan itu.

"Pstt … siapa mereka?" Aku berbisik pada Jingmi. Namun ia, Jia, dan Kakek Tabib membungkuk hormat pada ketiga orang itu. Ah, aku ikut menunduk saja untuk menghormati mereka.

"Hormat kami pada Yang Mulia Raja, Yang Mulia Permaisuri, dan Yang Mulia Pangeran Kedua!" Kakek Tabib, Jingmi, dan Jia membungkuk pada tiga orang yang datang. Aku yakin, tiga orang yang baru datang pastilah sangat berpengaruh di sini. Sang kakek ber-hanfu merah mengangkat tangan kanannya, membuat tabib, Jingmi, dan Jia kembali tegak berdiri. Aku ikut menegakkan badan.

"Bagaimana keadaan putraku, Tabib Wan?" tanya kakek yang merupakan Raja itu. Kakek itu berjenggot abu-abu sedada. Rambutnya yang sudah beruban tergerai, menandakan usianya sudah tidak muda lagi. Sama seperti Jia, Raja mengenakan sebuah sumpit, tapi terbuat dari emas, di rambutnya sebagai tusuk rambut.

"Keadaan Pangeran Feng sudah membaik, Yang Mulia," jawab kakek tabib, "hanya saja, racun yang masuk ke tubuh Pangeran Feng belum sepenuhnya keluar."

"Syukurlah jika dia sudah membaik." Raja mendekat padaku. Matanya yang berwarna hitam terus saja memandangku, membuatku risih. Matanya seakan menerawan apa isi pikiranku. Namun, jika aku mengalihkan pandangan, bisa jadi ia menghukumku nanti. Aku menunduk, menatap baju merah dengan sulaman emas yang serupa dengan Raja.

 "Calon Putra Mahkota tak boleh mati disini." Raja melanjutkan ucapannya.

Putra Mahkota?

Perempuan yang mengenakan hanfu merah berjalan ke tempat tidurku. Ia duduk di sampingku, lalu memelukku erat sambil menangis. "Syukurlah kau sudah bangun, Nak. Ibundamu ini sangat khawatir."

Siapa orang ini? Mengapa ia mengaku sebagai ibuku?

"Siapa Anda?" tanyaku pada perempuan yang memelukku erat. Si perempuan langsung melepaskan pelukannya. Buliran air masih mengalir dari matanya yang berwarna coklat. Ia menatapku lembut.

"Aku ibundamu, Nak." Ia berucap. Air matanya masih mengalir.

"Ibunda? Bukan! Kau bukan ibuku!" Aku membantah perempuan itu. Perempuan itu mungkin seusia ibuku, tapi wajahnya sama sekali tak mirip. Ibuku berkulit coklat terang, bukan putih mulus seperti perempuan di depanku ini. Lagipula, aku tak mengenalmu!

Sang perempuan menangis lebih kencang. Suaranya bergema ke seisi kamar. Si kakek yang tadi datang bersamanya mengelus-elus punggung perempuan itu. Jingmi, Jia, dan kakek tabib menunduk.

"Tenanglah, Permaisuriku. Feng masih belum pulih sepenuhnya," ucap Raja sambil menepuk punggung Permaisuri.

"Jelaskan kondisi dari Pangeran Feng, Tabib Wan!" Raja meminta tabib untuk mengatakan keadaan Pangeran Feng, alias keadaanku. Setidaknya itu yabg kuketahui sekarang. Aku berpindah jiwa ke seorang pangeran bernama Feng. Jingmi yang mengatakannya beberapa saat lalu.

"Maafkan saya, Yang Mulia." Kakek Tabib mendekat pada kakek yang dipanggil Yang Mulia itu. "Pangeran Feng mengalami luka yang cukup parah. Namun luka itu sudah sembuh. Hanya saja, racun dari tubuh Pangeran Pertama belum sepenuhnya keluar. Dan, beliau mengalami hilang ingatan akibat kejadian itu." Kakek Tabib menjelaskan secara rinci.

Pernyataan dari kakek tabib membuat tangisan Permaisuri semakin keras. "Feng tidak akan mengingatku lagi, Feng tidak akan mengingatku lagi!" raung sang Permaisuri. Raja menepuk-nepuk punggung Permaisuri untuk menenangkannya. Astaga, sepertinya aku sudah menyinggung Permaisuri itu dengan membentaknya. Aku harus meminta maaf padanya. Tapi … ia masih meraung dan menangis.

"Ini semua gara-gara kau, Wei!" Si kakek berbalik, memandang seorang remaja yang mengenakan zirah emas di ujung tempat tidur. Ia membentak remaja itu.

"Mengapa Ayahanda menyalahkan saya? Bukankah itu duel?!" Sang remaja membalas kakek yang merupakan Raja itu. Ia sama sekali tak takut oleh Raja yang menatapnya tajam.

"Kau sengaja melukai saudaramu yang tak bisa berkultivasi dengan kekuatan penuh!" Raja bangkit, mendekati si remaja yang melawannya. Matanya merah membelalak.

"Ya, Ayahanda lebih mempedulikan sampah Quon itu daripada aku!"

"Dasar tak tahu batasan!" Raja membentak si remaja. "Aku akan memotong seperempat jumlah pasukanmu!"

"Inikah alasan Ayahanda memanggilku? Hanya untuk memangkas pasukanku?" Si remaja berteriak tak terima. Ia melangkah ke depan, mendekati Raja yang masih memelototinya. Wajah si remaja memerah. Hei! Kau tidak sopan pada seorang Raja!

Raja diam saja, tak menjawab pertanyaan si remaja.

Si remaja baju zirah emas melanjutkan ucapannya. "Dari dulu, Ayahanda selalu pilih kasih. Tanpa sadar menimbulkan permusuhan di kerajaan sendiri."

"Jaga perkataanmu, Pangeran Kedua!" Raja membentak si remaja. Tangan kanannya sudah terangkat.

"Bukankah itu kebenarannya, Ayahanda?" Remaja itu bertanya dengan nada tinggi. "Anda lebih memilih sampah sepertinya untuk menjadi Putra Mahkota daripada aku yang seorang jenius kultivasi!"

Orang itu sudah kelewatan!

"Kau tak mengetahui apa yang kupikirkan, Pangeran Kedua." Raja berucap tenang, tak membalas teriakan remaja yang merupakan Pangeran Kedua itu. Ia menurunkan tangannya yang sempat terangkat. "Sikap yang seperti inilah yang aku benci darimu. Merasa lebih kuat dari orang yang ada di sekitarmu."

"Bagaimana dengan anak manja itu? Ia bahkan tak bisa terbangun dari tempat tidurnya." Hei! Apa kau menyindirku, Pangeran Kedua!?

"Aku ini mengalami kecelakaan, kau tahu? Kau tak tahu bagaimana rasanya ditabrak mobil!" Aku membalas ucapan orang itu. Semua orang di ruangan ini kecuali si remaja mengedikkan bahu. Apa ada yang salah dari ucapanku?

"Apa yang Anda bicarakan, Pangeran Pertama?" Raja bertanya.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa, Yang Mulia." Aku membalas malu. Raja mengerutkan alisnya.

"Cih! Hanya tertusuk pedang saja kau pingsan berhari-hari." Remaja itu kembali menghina.

"Setidaknya saya tidak membentak Raja yang merupakan orang yang paling dihormati disini." Aku membalas.

"Seorang jendral perang sepertiku takkan kalah darimu yang hanya seorang sampah kultivasi!"

"Aku tidak takut padamu. Raja sudah pasti akan menghukummu gara-gara sikap kurang ajar."

"Lihat saja apa yang aku lakukan padamu nanti, Sampah!" Remaja laki-laki berzirah emas itu meninggalkan ruangan.

Sampah?!

Hufft … aku harus bersabar saat menghadapinya. Ia benar-benar kurang ajar. Jendral perang? Aku harus hati-hati mulai sekarang….

The Trash PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang