Terbitnya matahari di timur tak membuat suhu dingin berubah menjadi hangat. Pepohonan masih diselimuti salju abadi yang tak pernah mencair. Tidak ada rerumputan di sekitar gubuk. Entah karena rerumputan tidak bisa tahan di suhu dingin, atau karena memang hutan Kerajaan Qing tak ditumbuhi rumput seperti hutan di Quon.
Api unggun tetap dinyalakan sepanjang malam untuk menghangatkan tubuh. Aku bangun setelah tidur menyender di pohon besar dekat api unggun. Aku menepuk-nepuk bagian punggung yang bisa dijangkau tangan. Membersihkan salju yang menempel di baju. Aku bangun, berdiri menghadap ke empat bawahanku yang juga sudah bangun. Mereka berempat masih duduk.
"Kita akan segera berangkat. Ayo." Aku berucap. Mereka langsung bangun. Menepuk bagian tubuh mereka yang terkena salju saat tidur.
"Aku akan menjemput Lan." Aku berjalan ke arah gubuk. Namun, orang yang hendak kucari sudah menunjukkan diri di daun pintu. Pria berwajah putih itu memakai mantel tebal dari bulu yang kelihatan lembut. Pastinya ia tak kedinginan sepertiku dan para anggota Black Lotus Assassin. Apalagi ia beristirahat di dalam gubuk.
"Wah, beruntung sekali kau tidur di gubuk, Lan?" Aku menyapanya dengan sindiran.
"Justru aku tidak nyaman di dalam gubuk. Jendral tidak membiarkanku tidur." Ia menjawab. Mukanya menjadi lesu.
"Bagaimana mungkin? Kau beristirahat di tempat yang hangat, sedangkan kami di luar?"
"Ia mengatakan pesan yang harus kusampaikan pada Pangeran Wei. Sekarang ia berpikir untuk merekayasa kematian Pangeran Feng dan mendiskusikannya denganku."
"Jika itu perintah jendral, aku akan mengantarmu ke Quon untuk mengatakan pesan itu ke Pangeran Wei." Aku menahan diri untuk menyebut nama Wei langsung mati-matian. Saat ini, aku harus memainkan peran sebagai sekutu mereka.
"Baiklah. Mari kita berangkat." Lan berucap.
"Kawan-kawanku! Kita berangkat!" Aku memanggil para bawahanku. Dalam beberapa detik, mereka langsung muncul di hadapanku. Menggunakan kecepatan lari secepat kilat. Kami berenam melayang ke atas pohon, melompati dahan-dahan yang dipenuhi salju yang langsung berguguran saat dilewati oleh kami. Dengan kecepatan Jurus Qing Gong —peringan tubuh tingkat lanjut—, kami akan tiba di Quon saat matahari muncul sempurna di ufuk timur.
***
"Aktifkan jurus penyamar aura."
Aku dan bawahanku menurut pada Sang Pembawa Pesan itu, Lan. Kami langsung menekan aura dengan jurus khusus untuk menjadi seorang mata-mata. Ah, bukan. Sebenarnya jurus ini bisa dipelajari oleh siapapun asalkan energi Sang pengguna cukup banyak karena jurus ini akan menguras tenaga terus menerus saat digunakan.
Kami sudah mendekati pemukiman penduduk. Melewati jalan di Hutan Terlarang, perjalanan tidak mengalami hambatan berarti. Para monster yang muncul dapat dikalahkan dengan mudah oleh kami berenam. Bukan melewati pedalaman Hutan Terlarang tentu saja, kami mengambil jalan memutar, dan memasuki bibir hutan yang lebih aman dari pedalaman.
Saat tiba di pemukiman, kami berenam mengganti pakaian dengan pakaian rakyat biasa untuk mencegah kecurigaan para warga. Wei dan Jendral Gong menyusun rencana yang sangat rapi untuk memuluskan jalan Wei sebagai Putra Mahkota.
"Kita akan pergi ke mana, Lan?" tanyaku.
"Istana Kerajaan Quon." Jawaban itu membuatku bingung antara bahagia dan gelisah. Bahagia karena setelah sekian lama aku akan menginjakkan kaki di tempat pertama aku terbangun. Pertemuan dengan Wei memicu rasa gelisah. Kultivasinya cukup tinggi dan tidak bisa diremehkan. Menurut rumor para pelanggan kedai Luo, Wei adalah orang terkuat ketiga di Quon setelah Raja Ho Hongli dan Permaisuri Mei Yin. Jika itu benar, apalagi Wei merupakan salah satu tersangka pencuri artefak Dewa Kegelapan, kultivasinya bisa jadi setara denganku bahkan lebih. Belum bisa dibuktikan bahwa artefak itu telah jatuh ke tangan Wei, tapi jelas, Quon merupakan satu dari tiga tersangka pencurian.
"Kita masuk ke kereta kuda itu." Lan menunjuk dua kereta kuda yang menarik gerobak. Kereta kuda pertama menarik gerobak yang beratap, mungkin khusus untuk manusia. Kereta kuda kedua menarik gerobak terbuka yang berisi pedang dan baju besi.
Aku, Lan, dan seorang bawahanku masuk ke kereta kuda beratap, yang di dalamnya berisi beberapa peti. Sedangkan tiga bawahanku yang lain menaiki gerobak yang berisi senjata dan baju besi. Lan menepuk gerobak, menimbulkan bunyi yang didengar oleh kusir kereta. Kereta kuda pun berangkat.
"Ini adalah kereta kuda yang memuat rampasan perang dari Qing." Lan bercerita. Ia memegang salah satu peti yang ada di dalam gerobak. "Posisi Qing semakin terancam setelah Quon dan Wu bekerjasama."
"Apa isi peti itu?" tanyaku.
"Berlian dan emas," jawab Lan, "ini semua akan ditukar dengan beras, sayur, dan buah untuk Kerajaan Qing."
"Untuk memenuhi perjanjian ya?" Lan mengangguk. Qing yang mempunyai berlian dan emas memberikan sumber daya pada Wei demi sumber daya pangan kerajaan mereka. Apa Qing saat ini sedang kehabisan sumber makanan?
Perjalanan berlanjut. Melewati kawasan pemukiman rakyat yang rumahnya dibangun dari kayu dan bahan alami. Setelah sekian lama menaiki kereta kuda, pemandangan berubah menjadi kawasan pertokoan dan pasar. Banyak orang yang lalu lalang di jalan area ini yang sudah dilapisi batu halus. Kereta kuda berjalan mulus tidak seperti saat di area pemukiman yang jalannya masih tanah berbatu kasar.
"Bagi Qing, beras dan buah-buahan lebih berharga daripada emas juga berlian." Lan berucap. Matanya menyusuri jajaran lapak dan kedai yang kami lewati. Setetes air matanya jatuh, membasahi hanfu coklat mudanya. "Kami rela menukar sumber daya kami demi setumpuk beras dan buah-buahan."
"Itu sebabnya kau ikut membantu Jendral Gong?" Aku bertanya.
"Tentu saja. Ia melakukan apapun demi kesejahteraan Qing." Lan membalas. "Ah– aku jadi emosional begini." Ia mengelap air matanya yang sempat jatuh.
"Pasti sangat berat hidup di Kerajaan Qing."
"Perang sudah menjadi jalan hidup kami untuk mendapat makanan, Iza. Tentu saja berat." Lan menjawab dengan nada yang dingin, tidak seperti biasa. Aku jadi enggan untuk bertanya lagi.
Gerbang besar menjulang di hadapan kami. Puluhan prajurit berbaju besi dan mengangkat sebuah tombak berjaga di sekitar gerbang. Memeriksa semua orang yang keluar masuk.
Ini pasti Istana Quon.
"Sebutkan apa tujuanmu!" Seorang penjaga gerbang mendekati rombongan kami. Beberapa penjaga lain memeriksa gerobak yang kami bawa.
"Kami hendak membawa hasil rampasan perang kepada Yang Mulia Pangeran Kedua." Lan menjawab prajurit itu.
"Senjata dan baju besi?" Nada bicara prajurit itu meninggi. "Kau yakin membawa rampasan berupa alat perang?"
"Ada emas dan berlian di peti ini." Kali ini aku yang menjawab. Kami bertiga yang berada di kereta membuka lima peti yang dibawa. Kilauan emas dan sinar berlian seketika terpancar saat tutup peti dibuka.
"Apa kau punya izin dari Pangeran Kedua?" Prajurit itu kembali bertanya, tapi dengan nada yang normal.
"Tentu saja." Lan menunjukkan sebuah plakat kayu berbentuk dia pedang yang saling bersilangan. Di kedua bilah pedang itu ada ukiran nama Wei.
"Silahkan masuk." Prajurit itu mengizinkan. Akhirnya, sekarang aku akan bertemu dengan Jendral Wei yang pemarah itu. Aku harus lebih berhati-hati. Aku tidak boleh berbuat kesalahan.
_____________________________
Waah, akhirnya Oryza mau ketemu Wei nih. Gimana ya nanti reaksi Wei?
Jangan lupa vote dan comment yaa!
Bogor, Minggu 22 Januari 2023
Ikaann
KAMU SEDANG MEMBACA
The Trash Prince
FantastikTopeng akan terbuka saat menghadapi hal sulit kehidupan, begitu juga aku. Rasanya, aku ingin menusuk mata mereka yang telah berani meremehkanku. Melepaskan rasa empati dan peduli pada siapapun yang merendahkan lagi menghina. Namun apa daya, aku hany...