EMPAT hari berlalu, sesuai prediksi sebelumnya gua beneran udah di rumah sakit, di sebuah ruangan putih yang nampak samar ketika ngebuka mata pertama kali. Beberapa kali gua mencoba mengedipkan kelopak menyaksikan Mama udah di sisi kasur berdiri dengan wajah tegang ditimpali harapan ngeliat gua masih hidup. Di belakangnya mengekor juga perempuan berjas putih yang masih berusaha gua perhatiin baik-baik sampai sosoknya yang samar kini nampak dengan jelas juga.
Oke, Io. Kembali ke misi! Kali ini lu harus berhasil, mungkin cara ini yang Allah atur untuk menyatukan lu dan Aiko. Jangan sia-siain. Do your best, dude!
"Ma ... Io masih hidup ya?" lirih gua udah sok kesakitan banget, padahal cuman pusing doang dengan pegal berkerumun di sekujur tubuh. Berasa habis maraton seharian gua!
"Masih, Sayang, masih ..." Mama udah mulai panik sambil nangis-nangis terharu.
"Io belum mati ya?"
"Belum, Nak. Io nggak usah ngomong macem-macem dulu ya, Io baru aja siuman, Nak, udah empat hari ini nggak bangun-bangun. Mama khawatir sama Io, Io gimana perasaannya?"
"Kayanya Io habis mati suri deh, Ma? Io diliatin Mama, Papa, Ken, Sisi lambaiin tangan ke Io. Kayanya bener, umur Io nggak bakal lama lagi,"
"Io ... Io ... jangan ngomong gitu, Nak. Mama belum mau kehilangan Io," Mama udah kalap meluk gua nggak berhenti, pelukannya masih sama kaya pertama kali dateng dari USA dulu, ngegoncang kaya gelas arisan. Beruntung dokter di belakangnya yang nggak lain tetangga sendiri ngelerai cepet. Bisa mati suri beneran gua!
"Tante Tiwi, udah," dia menahan Mama cepet, "Kasihan Aldrio, Tante, kakinya baru aja diamputasi, belum kering jahitannya," ujarnya yang ngebuat gua sontak terbelalak.
"HAAAH???"
Nggak sadar gua langsung bangun sendiri dari hospital bed, ngecek kaki gua dengan muka panik, mata hampir loncat dari kelopak, sampai dua penonton itu ikut nontonin aksi spontanitas gua. Mama udah kaget, gua yang tadinya lemes tiba-tiba aja bisa bangkit sesehat-sehatnya pasien, dan alhamdulillah-nya gua masih nemuin kaki gua sehat wal 'afiat. Nggak ada masalah.
"Lu nipu gua ya???" pekik gua langsung sewot nunjukin muka nggak seneng gua ke Syafira, perempuan yang berseragam dokter itu.
"Kamu juga nipu kita ya?" katanya, gua ikut mengerut nggak ngerti.
"Nipu apa?"
"Jantung kamu dari kemarin alhamdulillah masih sehat, nadi tetap berdenyut, napas masih berembus, dan nggak ada gejala apa pun yang menunjukkan empat hari belakangan ini kamu sedang mati suri. Mungkin bawaan pikiran kamu yang lagi kacau sebelum kecelakaan itu terjadi, jadi agak berhalusinasi sedang mati suri," paparnya.
Sial. Sial. Sial! Kenapa sih nih orang muncul di saat yang nggak tepat banget. Please deh, kalau pengen jadi tokoh antagonis tuh munculnya jangan sekarang! Belum juga acting, dia udah ngacauin drama aja.
"Ya sudah, karena Aldrio sudah siuman, saya izin permisi ke ruangan Cici sebentar ya, Tante. Nanti kalau butuh sesuatu panggil saya di sana aja, Tan," ucapnya sudah hendak berlalu. Gua otomatis keinget Sisi, gimana kondisi dia? Ceroboh banget sih lu O nyetirnya. Kenapa pake main lempar-lemparan baju segala sih waktu itu?
"Syafira ..." panggil gua ke Syafira yang belum sampai keluar, dia masih di ambang pintu dengan pegangannya sudah menyentuh gagang, "Gimana keadaan Sisi?" tanyaku.
"Hm, benturannya cukup parah. Menurut keterangan saksi, kalian nggak pakai seatbelt ketika kecelakaan terjadi. Dokter memprediksi kepala Cici terbentur keras di bagian dashboard," paparnya di ujung pintu sana, jelas gua jadi mengkhawatirkan hal yang lain sekarang. Gua nggak peduli tujuan gua pengen ngelanjutin drama ini, Sisi jauh lebih pantas buat dikhawatirin sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
IA & IO
Spiritual"Luluh lantah keinginan gua pengen punya bini cetakan luar negeri!!! Gua super yakin jodoh bakal dari belahan dunia sana ... ini kok jadinya malah runtuh di tetangga!!!" Huft! Panggil aja IA. Pada akhirnya gua fix menjalani kehidupan keluarga baru...