42. Tebak-Tebakan Sebelum Tidur

97 10 1
                                    

RUMAH yang selama ini hilang penghuni, sekarang jadi rumah yang hidup kembali. Rasanya aneh, yang kemarin makan sendiri, berkas kantoran sengaja dibawa ke rumah biar ada kerjaan, sekarang jadi mengalirkan cerita yang beda lagi. Sekarang Abdullah sama Khadijah udah rame bongkarin mainan legonya lagi, berantem-berantem dikit karena Khadijah yang nggak mau ngasih susunan rangka mainan tersebut, si lugu di pangkuan Ia pun sekarang udah anteng tidur nyenderin pipinya dalam dekapan Ia, dan Ia yang kemarin asing sekarang jadi buah rangkulan gua lagi.

Gua nggak pengen ngomong ini best day ever lagi kaya kemarin, pokoknya dari perpisahan gua udah memahami satu hal bahwa setiap hari adalah hari terbaik buat gua selama ada Ia di sini. Di samping gua.

Dari perpisahan kemarin pun, gua akhirnya bisa memahami satu hadis yang pernah gua baca di buku fiqih rumah tangga itu. Hadis tentang hak Ia yang dituliskan untuk Ia sebagai pihak istri dari seorang suami bahwa dia layak dijaga dan dipelihara.

Dari Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Rasulullah pernah bersabda:

Aku berpesan kepada kalian tentang wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah pangkalnya. Jika kamu mencoba meluruskannya maka dia akan patah, namun bila kamu biarkan maka akan tetap bengkok. Untuk itu aku berpesan kepada kalian jagalah para wanita.

(Shahih Bukhari: 3084)

Hadis ini memberi pesan bahwasanya wanita itu rapuh bila lelaki terlalu keras, namun mereka tetap membutuhkan pengarahan dari lelaki.

Dan sekarang gua sedang di posisi “berusaha” untuk jadi pengarah yang terbaik teruntuk Ia khususnya.

“Khadijah, jangan … iiih. Abi, Khadijah rusakin legonya Abdullah!”

“Enggaaak. Orang kesenggol kok,”

“Ya udah Khadijah minta maaf sama Kakak!”

“Iya, iya, maaf,”

“A, tahu nggak … kemarin aku capek banget ngasuh anak-anak sendiri. Ternyata selama ini kamu kesusahan ya ngurus anak-anak? Maafin aku, ya, nggak bisa ngerti perasaan kamu,” ucap gua penuh ketulusan sembari mengelus pundak Ia di ujung rangkukan sana. Ia cuman balik ngasih senyum terbaiknya masuk ke pupil mata gua.

“Nggak suka dengerin Abi minta maaf,” ucapnya sembari jemarinya sekarang balas menyapu pipi gua.

“Jangan pergi lagi, A, aku nggak suka kamu nggak ada di sini,”

“He’e!” balasnya mengangguk kemudian ngambil senderan di bahu gua buat mantengin anak-anak yang masih main, anaknya yang tidur tetap di pangkuin sambil ditenangin. Disordernya masih kadang-kadang kambu suka nyariin Umi atau Abinya yang dulu secara bergantian menghilang dari hidupnya. Edzar jadi manja banget sekarang. Gua harus pulang on time buat dia, ngajak main, beliin es krim atau buatin susu, dan yang paling penting kita tidurnya jadi bareng anak-anak. Semuanya jadi tidur di kasur Abdullah.

“Umi, kata bu gurunya Abdul, nomor WhasAppnya orang tua siswa kelas satu dimintain, mau dibuatin grup katanya,”

“Oh gitu? Ya udah Kakak tolong ambilin handphone-nya Umi dong, Nak,”

“Nggak usah, Doel, ambilin kertas aja. Abi udah hafal kok nomor Umi,” sela gua, yang sontak ngebuat Ia jadi mendongak mantengin muka gua yang lucu ini, aslinya Ia lebih lucu sih, mengundang buat diusilin, ehe.

“Udah hafal,” Pandangannya gua buyarin dengan menyapu keras seluruh mukanya, dia jadi manyun-manyun sebelum dibawain kertas bareng handphone-nya sama Abdullah. Digit nomornya gua tulis sambil Ia cocokin di handphone, dan kedua belas nomornya sama persis dengan yang gua tulis. Yaiyalah hafal, dulu kan gua suka mantengin nomornya udah kaya mantengin kertas ujian matematika. Udah dibaca, dipahamin lagi, dihafalin lagi rumus-rumusnya, dicocokin, sampai beres ujian pun tuh isi kertas masih keinget aja semua berikut opsi A, B, C, D-nya.

IA & IOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang