IA & IO

37. Kita Sampai Di Sini

HARI menyeramkan kemarin berlalu, semburat senja kini memancar di barat sana. Umi gua anterin pulang sekalian berangkat ke masjid juga. Sekarang gua ke masjidnya udah pakai motor, Abi mertua yang temenin ngurus kemarin pas lagi anterin anak-anak-anak main ke mall biar nggak nangis terus, sekalian ke showroom bareng Abi beli motor buat gua, Abi mertua, sama Sisi yang sekarang ngekos di Depok.

Gua juga nunggu waktu Isya di rumah Umi. Anak-anak suka main di kamar Ia, lari bolak balik tangga ke lantai atas sana. Gua udah nggak bisa ngelarang, gua udah syukur banget mereka bisa lupain Uminya sesaat, udah penuh rasanya kuping gua dengerin hampir sebulan lamanya mereka nanyain Umi di mana? Umi di mana? Nggak tahu!

Beres salat Isya di masjid, gua makan malam sebentar di rumah Umi mertua, habis tuh baru pulang buat menidurkan anak-anak. Gua udah nyoba untuk tiru gimana cara Ia ngurus anak-anak, Khadijah ngasih tahu kalau setiap malam sebelum tidur, mereka suka dibacain sirah nabi, sirah istri-istri nabi, atau sirah sahabat nabi, dan tetep Edzar yang paling susah dibuat tidur.

Malam itu, Abdullah sama Khadijah udah tidur di masing-masing kasurnya. Gua yang pindahin Khadijah ke kasur atas, Abdullah tetap di kasur bawah bareng gua, dan Edzar udah naik sendiri ke box-nya. Malam itu, di tengah kamar yang lagi tenang-tenangnya, ketukan pintu di luar sana terdengar. Edzar yang belum tidur bangun lagi nongolin kepala di balik kasurnya ngasih tahu ada orang di luar. Batal lagi gua tidur buat MEMULIAKAN TAMU.

Dengan mata yang terkantuk-kantuk, gua berjalan melewati kamar anak-anak menuju ke ruang tamu yang nggak perlu jalan jauh-jauh, lampu ruang tamu gua nyalain lagi, dan langsung ngebuka pintu utama rumah. Gua … yang tadi terkantuk-kantuk, mendadak buyar semua perasaan itu setelah ngeliat siapa yang dateng.

Ia.

“Assalamu’alaikum, Bi,” ucapnya macam nggak habis ngebuat kesalahan apa-apa, punggung tangan gua dicium seperti biasanya dia nyambut gua setiap pulang kerja.

“Wa’alaikumussalam,” Nada gua mendingin, “Kenapa baru pulang?”

“Yayasannya terpelosok, Bi, dan kita kesulitan banget untuk pulang sebelum tuntasin kasus-kasus penderitanya supaya bisa dirujuk ke rumah sakit besar,” Begitu katanya. Dia bahkan masih berani bohongin gua dengan alasan-alasan buatannya. Dia masih berpikir gua suaminya yang bodoh ini masih bisa ditipu di tengah gua yang udah tahu dia perginya bukan untuk orang yang butuh. Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kita berdua akan saling menyakiti diri sendiri dengan nipu sesama?

“Gitu? Kamu cuman mikirin orang lain? Kamu nggak mikirin anak-anak kamu di  belakang nangis-nangis nyariin Uminya? Nggak ngerasa anak kamu di belakang sakit tunggu Uminya pulang rawat dia juga? A, apa seorang dokter untuk menyelamatkan orang lain harus mencampakkan keluarganya?” Tiba-tiba nada gua parau nggak habis pikir ke Ia.

“Bukan mencampakkan, Bi. Tapi, ini abdi,”

“Abdi apa, A? Abdi apa kamu ngurusin orang lain, anak kamu sendiri sakit diurusin malah sama dokter lain?” Ucapan gua mulai memuak.

“Bi … tolong, kita ngertiin bidang kita masing-masing. Aku disumpah mengabdi untuk kepentingan perikemanusiaan, mereka punya hak atas ilmuku juga,” Ia masih berusaha membela diri, ngasih jawaban yang bener-bener nggak gua butuhin. Iya, gua nggak ngerti bidang dia, gua nggak paham dia yang harus nolong orang lain tapi dengan mencampakkan orang sekitar, dan gua bener-bener nggak bisa paham kenapa Ia rela mengatasnamakan bidangnya untuk bohongin gua.

“Kalau gitu kamu mengabdi aja terus! Dan, mulai malam ini, Yumna Syafira, kamu saya talak.” Kalimat itu akhir lepas landas di hadapan Ia langsung. Mendadak waktu seolah tertahan tanpa nada, gua nggak bisa liat gimana ekspresi Ia saat ini, kainnya masih menutupi pandangan mata gua untuk saksiin apakah dia sehancur gua atau malah Ia seneng.