32. Diserang Masa Lalu

85 21 0
                                    

Five years later.

Kalau lu yang nikah di empat tahun pertama masih bisa bilang “cinta mati” ke istri, di tahun kelima atau bahkan di atasnya mungkin rasa pengen ngomong itu makin ke sini makin mulai terkikis.

Gua contohnya.

Tahun keenam ini mungkin jadi tahun terberat gua berumah tangga sama Ia. Gua ngerasa nggak bisa ngontrol diri gua lampiasin perasaan gua ke Ia, waktu gua lebih banyak terhabiskan di pekerjaan dibanding di rumah, dan apa yang gua dapet di luar selalu gua bawa pulang ke depan dia. Gua nggak tahu kenapa?

Setelah gua naik jabatan untuk dipercayakan duduk di kursi kepala cabang perusahaan yang pusatnya di negeri Paman Sam itu, menggantikan posisi Pak Sultan, semuanya jadi makin ngacauin gua. Gua nggak tahu ini sebuah kebetulan atau enggak, tapi setelah gua menghadiri rapat besar dengan kepala direksi di USA, tiba-tiba something made me big shock. Satu di antara yang hadir di rapat tersebut adalah Megan.

Well, gua udah berusaha meng-cover perasaan gua dengan bersikap biasa aja, gua udah punya pilihan sendiri, tapi yang tidak terduganya … seberes rapat hari itu, Megan malah nagih sesuatu yang mau nggak mau akan ngebuat gua balik ke masa lalu lagi. Dia minta jaket valentine itu, sedangkan jaketnya udah gua kasih Dinda yang kerja di Negeri Sakura sana.

Gua nggak bisa narik Ia untuk terjung ke masalah gua, ini urusan masa lalu yang harus gua tuntasin, dia nggak akan ngerti, sampai sepulang kerja tadi gua nggak sadar bentak Ia karena nanyain terus gua kenapa.

Jadilah gua keluar rumah mencari ketenangan baru yang bisa buat gua lupa masalah ini sebentar. Gua nggak mungkin egois dengan memelukkan diri gua ke sumber ketenangan gua sedang dia lagi nahan sesak habis gua bentak, alhasil setelah bertahun-tahun lamanya menghilang dari setting ruangan yang berdentum musik DJ, sampailah gua muncul lagi sebagai pengunjung baru di tempat tersebut.

Gua ke sini nggak pengen huru-hara dengan perempuan-perempuan tak senonoh itu, gua ke sini cuman pengen nenguk dagangan minuman slokinya sampai gua bener-bener kalap dan lupa tentang Megan. Gua benci perempuan gila itu, kenapa dia harus dateng lagi?!

Pukul satu dini hari, musik itu masih mengaung keras di gendang telinga di tengah gua yang makin nggak terkontrol. Gua yang awalnya cuman pengen minum, sekarang udah di pundak perempuan yang ngegodain gua buat ngomong dari sejam yang lalu. Mata gua setengah sadar menyender lemas beranggapan pundak yang gua sandarin sekarang adalah pundak Ia.

“Kamu udah mabuk berat, saya bawa istirahat ya,” katanya, dan mungkin gua udah sinting di tengah keadaan mabuk sampai denger suara perempuan itu berasa kaya Ia yang ngomong. Gua ngangguk aja di pundaknya sampai dia udah berusaha ninggalin kursi depan bar itu.

Belum seberapa jauh kita melangkah dari tempat barusan, cengkeraman kuat di pergelangan tangan gua tiba-tiba aja dateng menahan langkah sempoyongan gua yang digiring perempuan tadi. Kesenangan gua jadi terhenti menyisakan tarikan kuat perempuan dengan penutup wajahnya mengalihkan giringan si perempuan tadi. Gua berusaha merontah, gua pengen istirahat dengan yang gua anggap Ia, gua nggak mau ikut dia, tapi gagal karena gua yang udah lemes dibawa pergi.

Gua nggak inget apa-apa lagi setelah dibawa masuk ke jok penumpang mobil seseorang. Sampai tiba di waktu subuh, lampu di atas kamar mulai samar terlihat, ruangan yang tidak lagi ada musik, cuman ada gua yang berselimut, dengan seorang perempuan di lantai bawa sana sedang mengepel muntahan.

Ia.

Kenapa ada Ia di sini?

Kenapa gua di rumah?

Apa yang gua lakuin malam tadi?

“A udah bangun?” lirih gua mengalihkan Ia cepat-cepat menghadap ke gua.

Pertanyaan bodoh gua cuma ditanggapi dengan anggukan, semacam sindiran halus untuk Ia memastikan kalau gua masih bisa kenalin Ia berarti gua udah pakai mata yang sadar, bukan lagi mata orang mabuk kerasukan jin jadi-jadian malam tadi.

IA & IOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang