IA & IO

25. Modus

Wait, wait, wait!!!

Sebelum lanjut baca bab ini, mari kita buat kesepakatan dulu. Ya? Okey. Jadi,  mari kita sepakat di awal bahwa modusan yang udah nikah gabisa disamain dengan orang-orang Wajo (Wajar Jomblo) seperti kita 😭😭😂

Jadi, mohon diwajarkan aja semisalnya terdapat narasi-narasi modusan ataupun bucin ala Ia Io, ya. Itu aja. Silakan dilanjut bacanya, enjoy 😁🌻

***

SELAIN sebagai workaholic, sekarang gua harus berperan sebagai suami yang baik juga. Tepat di kehamilan bulan ketiga, secara resmi Ia juga udah selesai dari program internship-nya, sekarang Ia bisa buka praktik mandirinya kalau dia mau. Karena udah setengah tahun kerja juga, gua udah bisa hadiahin sesuatu ke Ia. Dengan keluarnya STR (Surat Tanda Registrasi) hasil dari internship Ia yang menyatakan Ia udah legal sebagai dokter yang bisa kerja di rumah sakit atau buka praktik mandiri, gua udah berniat ngasih surprise yang maybeee akan ngebuat Ia mual-mual, nangis-nangis, habis itu berujung meluk gua. Wkwk. Modus ke istri dikit nggak apa-apa kali ya, udah halal.

Beres makan bareng nasi bebek di bilangan Depok, nggak jauh dari kampus Ia––eh btw, Ia lulusan kedokteran UI, begini deh risiko Ia jadi anak kedokteran … fakultasnya sebenernya di Salemba, cuman apa-apanya dia tetep ke Depok. Dan, dulu Papa kan pengen banget punya anak yang kuliah di UI, dengan niat terselubungnya biar punya menantu lulusan UI, dan dengan nikahnya gua sama Ia impiannya jadi tercapai deh, Papa udah punya menantu anak UI sekarang. Gua rasa doa Papa kekencengan banget kayanya, makanya Ia pilih kuliahnya malah di UI, bukan di UGM, UNY, atau malah lanjut di pesantren lagi. Kali ini, gua setuju doa Papa nggak sia-sia, hihi.

Sampai mana tadi ngomongnya? Eeeeh … nasi bebek. Iya, itu. Nggak jauh dari kampus UI yang di Depok, Ia sempetin beli nasi bebek yang tadinya nggak mau gua makan, jadi makan juga. Ternyata enak. Cuman gua nggak bilang ke Mama, Mak gua ada obsesi tinggi soal makanan soalnya.

Habis makan, gua langsung pulang ke rumah, ketemu Mama yang juga udah masak sup ayam, opor, sama roti mariam, bareng Umi mertua, khusus untuk Ia yang katanya udah beres internship. Keluarga semuanya ngumpul dari Abi Umi, Papa Mama, Sarah, Rumaisha, temen-temen Sisi, sampai bapak-bapak yang sering berjamaah bareng di masjid diajakin semua. Ken doang yang nggak ada karena masih di Maroko. Tetangga terdekat pun sampai harus dibagiin juga masakannya sakin mereka buatnya kebanyakan.

Ini kurang takbirannya doang, biar sekalian jadi lebaran. Hehe. Mana gua sama Ia udah makan duluan lagi tadi, sampai di rumah kita makannya jadi nggak banyak.

Nggak kerasa adzan berkumandang, gua berangkat ke masjid bareng bapak-bapak ter-emejing di komplek, yang mana nama komplek ini udah hampir membumi se-Jakarta diomongin bahwasanya ibu-ibunya banyak yang tukang gosip. Dengan adanya bapak-bapak sholeh jadi bisa punya citra dikitlah, kalau masjid di sini aman sentosa, lima waktu selalu rame.

Pas udah balik dari masjid, duduk hadap-hadapan sama Ia di kasur, kotak hadiahnya langsung gua serahin. Ia nggak berekspresi berlebihan, perutnya cuman dielus lembut sambil kotaknya dibuka. Setelah ngebuka penutupnya …

Jeng jengggg …

Alis Ia terangkat, senyumnya ikut menunggik aneh sebelum dia ngelebarin dress, orang biasa nyebutnya dress dinas, hihi, khusus buat dia itu. Ia beberapa kali mengedip bergantian menghadap ke gua lalu ke dress itu lagi. Senyum gua udah menarik keusilannya sambil bertepuk tangan kegirangan menangkap raut datar Ia.

“Udah harus diamalin ya?” katanya yang teringat satu bagian di dalam bukunya. Bagian yang menuliskan hak gua dengan terang di sana.

“Biar nggak gerah, hehe,”