35. Tujuh Hari LDR

66 14 0
                                    

WAKTU perpisahan tiba, anak-anak dicium Ia satu per satu di ujung pintu. Beda banget suasananya ketika yang pamit dari rumah adalah gua, anak-anak biasa aja ngelepasnya. Terakhir gua ke USA, anak-anak cuman cium tangan habis tuh lambaiin tangan setelah gua berangkat ninggalin rumah. Tapi sekarang? Really different! Abdullah yang udah harus diwisuda tiga hari kedepan di TK-nya jadi nggak ada semangat-semangatnya pengen ke sekolah. Ini pertama kalinya gua ngeliat Abdullah manja lagi digendong Ia sampai ke muka pintu lengkap ransel besar Abdullah yang udah dipakai kian melebarkan pelukan Ia.

Khadijah diam seribu bahasa di belakang Abdullah yang nggak mau lepasin Ia dari pelukannya meski udah turun menapaki lantai. Si kecil Edzar bahkan masih pakai piyama tidurnya, mukanya masih muka bantal, cuman bisa berdiri di depan Ia ngeliat Abdullah ngerasa yang paling sedih harus wisuda tanpa Ia.

"Umi jangan lama," rengek Abdullah bernada hampir menangis.

"Kak Abdul doain urusannya cepet selesai ya, Umi usahain cepet pulang. Umi minta maaf ya kalau seumpama Umi nggak bisa dateng di wisuda Kakak, nanti ada Abi kok yang dateng,"

"Aaaahhh... Abdullah mau Umi dateng juga. Umi... Umi pulang ya nanti..."

"Kak Abdul doain Umi cepet selesai, okey?" Ia melerai cepat pelukan Abdullah, tertangkap wajah kesal, sedih, tidak rela, berbaur satu dalam air muka Abdullah.

"Kakak yang rajin hafalannya, nanti Qur'an cube yang waktu itu kakak bilang Umi cariin ya. Kakak yang sabar tunggu Umi, jagain adek kalau nangis atau nggak ada temen, jangan nakal-nakal selama Umi pergi. Umi percaya sama Kak Abdul."

"Udah. Umi hati-hati!" ketus Abdullah membuang muka tak ingin melirik Uminya lagi. Abdullah berganti merengeki Abinya. Sedang Ia udah gendongin Edzar di pangkuan sembari meluk Khadijah juga. Khadijah udah mewek sejak dipeluk Ia, yang satunya udah nggak mau ngelepas.

"Anak Umi paling cantik, jangan nangis dong, Nak, Umi kan perginya nggak lama. Nanti pulang lagi muraja'ah sama Kakak Khadijah sama Kakak Abdul. Ayo, coba liat putri cantiknya Umi senyum, gimana?"

"Nggak mau. Khadijah nggak mau Umi pergi! Umi jangan ke sana ..." tangis Khadijah kian memecah sambil Ia sapu-sapu punggung belakangnya. Semenjak Ia ngomong ke anak-anak di makan malam kemarin bakal ke Jogja seminggu mendadak seisi rumah berubah. Ada yang murung teruslah, ada yang nangis, ada yang bingung ada apa. Lah emaknya palanya cuman satu, tangannya cuman dua, anaknya ada tiga. Gimana nggak repot?!

"Kak Khadijah, nggak boleh gitu, Nak. Nanti bu guru di sekolah Kakak nanya Kak Khadijah kenapa mukanya sembab gini, gimana? Kak Khadijah kan mau jadi dokter nanti, jadi harus siap rawat orang lain di luar sana. Umi kan perginya baik, Nak. Kalau nggak jadi berangkat, temen Kakak yang sakit di sana siapa yang obatin?"

"Mmmm ... Khadijah ikut Umi kalau gitu,"

"Kapan-kapan Umi pasti ajakin Kakak Khadijah, Nak, tapi nggak sekarang. Beres dari Jogja Umi ajak main sama temen-temen dokter Umi, gimana?"

"Tapi ... Khadijah maunya Umi nggak usah pergi. Nanti Khadijah baca sirahnya sama siapa?"

"Khadijah, Khadijah sama Abi aja ya," alih gua segera membawa Khadijah untuk berhenti menahan Ia. Jujur, gua juga berat lepas Ia, tapi ini demi tugasnya, Ia udah disumpah untuk membaktikan dirinya menangani orang yang membutuhkan tenaganya.

"Bi, nggak mau Umi pergi ..." Anak perempuan kecil ini udah nangis terseduh-seduh di pundak gua. Gua cuman bisa tenangin Khadijah aja biar bisa relain Uminya berangkat.

"Anak Umi yang satu ini? Kenapa, Sayang? Manyun-manyun gitu. Coba cerita sama Umi Edzar kenapa?" Ia berubah lugu menciumi kedua Pipi balita kecilnya.

"Umi mau temana? Kok Echal ga itut?"

IA & IOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang