⚠
Tolong pahami kalau aku hanya penulis amatir. Jadi, mohon tidak berekspetasi tinggi untuk alurnya yang akan sangat pasaran.Jangan membandingkan cerita ini dengan kehidupan nyata, ya. Ini hanya fiksi.
Jika kalian tidak menyukai segala hal mengenai cerita ini, mohon untuk tidak meninggalkan komentar buruk. Cukup pergi, tinggalkan dan lupakan.
.
.
.
- Happy Reading -
.
.
.
"Hinata, cobalah berputar."Ujung lembut kain berwarna putih bersih, sedikit melambai saat tubuh di sana mulai kembali bergerak untuk mengikuti instruksi.
Rambut panjang sepunggung yang terurai rapi secara halus, ikut bergerak manis ketika putaran kedua berhasil dilakukan tanpa kesalahan.
Hembusan napas tak terelakkan melantun lolos dari sela bibir. Jika boleh berkata jujur, Hinata sudah lelah terus melakukan hal serupa sejak tadi.
Hari sudah bergumul bersama gelap malam sejak beberapa jam yang lalu, rekan yang lain bahkan telah meninggalkan tempat dari dua jam lalu, namun, Hinata tetap diminta untuk menetap lebih lama tanpa jaminan apa pun.
"Kapan ini akan selesai? Aku sudah lelah. Lagi-lagi, kau mengambil jatah istirahatku tanpa rasa kasihan." Hinata putuskan mengambil duduk tanpa menggubris rintihan Murakami Suran yang meminta agar ia tetap berdiri.
Hinata mencoba tak peduli. Ditariknya ujung gaun yang sejak tadi membungkus dirinya.
Menurut Hinata, gaun ini sudah lumayan sempurna. Entah apa lagi yang membuatnya masih terlihat kurang di mata sang atasan.
Benar. Murakami Suran. Meski tingkahnya sangat menyebalkan, Hyuga Hinata tetap tak bisa terlalu memberi perlawanan bila diminta melakukan sesuatu, sebab mau bagaimanapun, ia adalah seorang pegawai dari sahabatnya sendiri.
Kira-kira, sudah dua tahun ini Hinata menempatkan diri sebagai salah satu bagian dari butik pakaian modern dan gaun pernikahan dari si wanita yang perfeksionisnya luar biasa. Selain karena ingin menambah pendapatan dari pekerjaan sampingannya sebagai guru privat bagi anak sekolah dasar, juga karena Suran sendiri yang datang langsung untuk memberi tawaran.
"Hah ... aku tak mengerti. Apa lagi yang salah dengan pakaian ini?"
Ini sudah kesekian kali Hinata mendengar omelan serupa dari bibir berpoles gincu milik Suran.
"Ini sudah bagus, Suran. Semuanya sempurna. Kau hanya terlalu keras pada dirimu sendiri."
Sepertinya, kalimat Hinata mengenai tepat saraf otak sang sahabat. Dengan helaan napas pelan, Suran memilih menghempas pensil yang sejak awal berada dalam kuasa jemarinya.
"Aku lelah."
"Sama. Aku juga lelah."
Kekehan Suran membuat Hinata mendelik samar.
"Maaf sudah merepotkanmu, Hinata. Kau bisa melepaskan gaunnya sekarang."
Hinata sedikit sangsi -- meski hati telah merasakan kesenangan.
"Sungguh? Tapi, kau tak akan secara tiba-tiba memintaku memakainya lagi, 'kan?" Hinata coba memberi ucapan dengan nada yang dibuat bersungut. "Sangat melelahkan jika harus melepas-pasang gaun ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
FanfictionMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."