Vote dan komen sebagai bentuk apresiasi, boleh ya?
Biar aku juga tetep semangat untuk selalu update cerita ini. Cukup tekan tanda bintang di bawah, dan apabila berkenan boleh disertai dengan komentar.Target 70 vote untuk chapter berikutnya. Baru setelah itu aku bakal update lagi ^^
Yang belum memberi vote di chapter-chapter sebelumnya, boleh dong ya menyempatkan waktu untuk nge-vote di sana.
Terima kasih.
.
.
.
- Happy Reading -
.
.
.
Waktu berlalu cukup cepat. Malam telah menjadi atap cakrawala kala Naruto memasuki apartemen.
Pembicaraan yang terjadi bersama Rin beberapa saat lalu masih saja mengisi pikiran. Naruto tak menyangkal bila ada luapan sesal yang ia rasakan setelah membuat sang gadis bersedih. Namun, Naruto juga tidak ingin semuanya kian jauh dalam kehampaan belaka.
'Rin pantas untuk bahagia', setidaknya, itu yang Naruto pikirkan saat memotong ikatan mereka.
Dengan raut lemas yang tak terkira, Naruto melangkah gontai menuju ruang tengah. Aroma masakan merebak nikmat mengisi udara. Naruto tak perlu merasa heran, sebab, sejak pagi tadi sang ibu telah memberi kabar jika akan datang berkunjung hari ini.
"Naruto? Kau sudah pulang? Ibu tak mendengar kedatanganmu."
Naruto menarik kursi di meja makan tanpa mengalihkan pandangan dari sang ibu yang mendekat serta menyajikan makanan panas.
"Bagaimana sekolahmu hari ini?" Kushina mendudukkan diri dan memperhatikan sang putra yang semakin hari terlihat kian dewasa. "Kau sudah besar sekali sekarang." Elusan pelan diberikan pada helaian pirang Naruto yang begitu mirip dengan sang ayah.
"Tidak biasanya Ibu datang." Naruto meraih sumpit di dekat mangkuk sup dan menggapit sepotong daging agar masuk ke dalam mulut.
"Ada beberapa hal yang harus Ibu lakukan, jadi, sekalian saja Ibu berkunjung untuk melihat keadaanmu. Apa kau pikir Ibu tak rindu? Kita sudah sangat lama tak bertemu."
"Saat libur musim dingin lalu, kita juga bertemu."
"Tapi, itu sudah sangat lama. Jangan mentang-mentang telah dewasa, kau merasa tidak memerlukan Ibumu lagi."
"Apanya? Aku masih butuh Ibu. Kalau begitu, tambahkan uang jajanku." Naruto terkekeh pelan.
Kebiasaan Naruto yang kerap mengangkat pembahasan uang tambahan dalam topik-topik tertentu, sudah bukan sesuatu yang mengagetkan.
"Jadi, kapan ujian akhirnya akan dilaksanakan?" Maka, tanpa begitu mengambil pusing, Kushina mengalihkan.
Naruto tampak menimbang. "Dua bulan lagi."
Tatapan Kushina berubah sendu. Hari sungguh berlalu tanpa disadari. Naruto telah tumbuh menjadi besar dan akan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas dalam waktu dekat.
Kushina ingat, betapa berat kehidupan mereka selama ini sejak kepergian sang suami beberapa tahun lalu. Kushina harus berjuang sendiri menghidupi dirinya dan Naruto, serta memenuhi segala keperluan setiap hari dengan tertatih-tatih. Ia sempat khawatir dengan keadaan Naruto yang saat itu sangat terpuruk akibat kehilangan sosok yang sangat dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
FanfictionMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."