Seorang dokter yang sudah menangani Erika, memberi penjelasan bila keadaan gadis kecil tersebut mulai stabil kembali setelah sebelumnya mengalami demam yang cukup tinggi.
Tak ada yang patut dikhawatirkan. Erika hanya harus lebih banyak beristirahat dan mengonsumsi obat yang sudah diserepkan.
Sudah sejak tadi, Hinata tak berniat sedikit pun untuk beranjak keluar dari ruangan setelah kepergian para petugas kesehatan.
Ketika pintu terdengar digeser, Hinata mendapati Suran datang bersama bungkusan di tangan. Ada sebotol air mineral dan makanan yang segera ia berikan.
"Makan dulu. Kau belum mengisi perut."
Hinata berterima kasih. Meraihnya dan hanya diletakkan di atas pangkuan.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Hinata. Sudah kukatakan jika dia akan baik-baik saja."
Iya, Hinata tahu. Tapi, ada beberapa hal yang setidaknya menimbulkan tanda tanya di dalam kepala Hinata.
Ini mengenai bagaimana Erika mendadak saja sangat nekat untuk datang langsung ke tempatnya seorang diri.
Lalu, momen mundurnya Hinata secara tiba-tiba sebagai pembimbing les, menjadi pertimbangan. Sejak baru tiba tadi, Erika juga mengungkit hal tersebut padanya. Hinata menjadi merasa tak enak semisal alasan tindakan berlampau berani Erika memang dikarenakan perkara ini.
Tak lama setelah itu, pintu ruangan kembali menyatakan geseran. Ada orang lain yang tiba.
Hinata dan Suran menoleh bersamaan.
Mata Hinata sedikit bergetar ketika melihat raut cemas yang tampak pada gurat wajah sang pria.
Sejenak, Naruto cukup tertegun ketika ikut mendapati kehadiran Suran di dekat Hinata. Perempuan tersebut sedang memperhatikan dirinya tanpa putus, namun, Naruto mencoba bersikap seolah tak acuh dan segera menghampiri Erika.
"Apa yang terjadi?"
"Erika ... dia datang ke tempat kerjaku dalam keadaan kehujanan. Lalu, mendadak saja jatuh pingsan."
Garis kening Naruto menekuk sangat dalam. Ada pancaran tak senang yang ia tampilkan dari caranya memandang Hinata. "Kenapa kau membiarkannya datang?"
Mulut Hinata langsung tertutup. Nada suara Naruto yang menjadi tak ramah dan sarat akan kekesalan, sempat membuat ia terdiam.
"Aku tidak membiarkannya. Erika datang tanpa sepengetahuanku. Aku juga terkejut dengan apa yang terjadi."
Kini, Naruto menjadi diam. Garis wajahnya yang semula menegang, perlahan kembali melemah.
Naruto tidak menyangka jika Erika bisa seberani ini untuk keluar sendirian tanpa pengawasan, bahkan tanpa pamit padanya.
Entah sudah seberapa erat ikatan yang terjalin antara sang anak dan sang mantan istri, hingga membuat hal ini bisa terjadi.
"Seharusnya, sebagai orangtua, kau yang lebih berperan dalam mengawasi anakmu. Aku tahu, kau sibuk bekerja, tapi, ... jangan sampai membuat Erika merasa kesepian." Sekelebat bayangan wajah sendu Erika beberapa saat lalu, hadir dalam ingatan.
"Jangan membuatnya mengalami hal-hal yang sulit," Hinata melanjutkan kata. Bersambung dengan keadaan yang berubah menjadi lebih tenang.
Suran ikut merasakan ketegangan yang sama. Maka, ia mencoba mencairkan situasi agar tak lagi terasa menekan.
"Setidaknya, dokter berkata anakmu baik-baik saja. Dia hanya perlu lebih banyak beristirahat dan meminum obatnya."
Naruto memandangi Suran secara langsung -- setelah sebelumnya dengan sengaja selalu mengalihkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
Fiksi PenggemarMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."