"Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?"
"Hinata, ... dan segala perasaanku yang tak bisa melupakannya."
____________________________
Flashback
Selesai. Semua benar-benar telah berakhir. Perpisahan mereka telah resmi dan Naruto sungguh tak memiliki hak lagi kepada Hinata.
Masih dengan emosi yang menggebu, Naruto membanting pintu kamar begitu keras. Matanya menatap pada keseluruhan ruangan, tempat di mana dirinya sempat menghabiskan hari-hari bersama Hinata; berbagi cerita, berbagi canda dan bujukan, lalu amarah dan tangis yang menjadi momen akhir yang terjadi.
Jemari Naruto terkepal erat. Ia bukanlah seorang yang lemah. Sejak kematian sang ayah yang begitu dikasihi, mentalnya telah terasah begitu kuat untuk bertahan.
Tapi, ia goyah. Dadanya terasa begitu sakit dan sesak. Airmata jatuh. Untuk pertama kali semenjak dihadapkan raga tak bernyawa lelaki terhebat dalam hidupnya, saat ini, Naruto menangis. Ia telah kehilangan wanita yang berarti dalam tiap hela napas dan aliran nadi.
Meski telah bersikeras mempersiapkan diri untuk menghadapi segalanya, nyatanya, Naruto tidak sekuat yang dibayangkan. Ia tak sanggup dengan rasa sakit ini.
"Naruto!"
Sang pemilik nama tak menoleh barang sebentar. Harga diri yang masih tersisa walau sebesar butiran beras, membuat ia membuang wajah agar segala kesedihan tak terdeteksi begitu nampak.
Sayangnya, Kushina tahu seberapa remuk perasaan sang anak.
Mereka hanya dewasa pemula yang masih sulit mengendalikan diri. Terlalu mudah bagi Kushina untuk menebak jika Naruto sedang menahan beban yang berat pada perasaan.
Kushina kecewa. Ia tahu jika perpisahan ini terjadi akibat kesepakatan kedua belah pihak, namun, setelah segala kesempatan yang sudah ia berikan -- bahkan sampai merelakan segala masa depan sang anak yang seharusnya lebih diutamakan, kini, pada ujungnya mereka tetap memilih terpecah.
Kushina paham bila Hinata juga merasakan keretakan yang besar setelah mendengar alasan yang diutarakan, namun, pada dasarnya, mereka memang tidak bisa berpikir lebih panjang.
Hinata yang keras kepala karena tetap bersekukuh, dan Naruto yang tolol karena patuh begitu saja.
"Aku kehilangan dia."
Gumam tersebut berasal dari bibir sendu Naruto. Sudah berusaha kuat dan bertahan, tetapi sesak berhasil merobohkan harga diri.
"Aku benar-benar telah kehilangan dia."
Pundak Naruto telah tersentak-sentak. Bukti apabila tangisnya tak sanggup lagi disembunyikan. Mata Kushina ikut berkaca. Naruto adalah anak yang terlalu jarang -- bahkan tak ingin seorangpun tahu bagaimana kesedihan yang ia miliki. Jika sampai menunjukkan isakan sebegitu parah, artinya, ini memang sesuatu yang berat.
Dengan sebuah sentuhan pada pundak, pun disambung elusan untuk menenangkan, Kushina memohon agar sang anak dapat merelakan semuanya.
Jangan terperangkap pada sesuatu yang hanya menyakiti. Awal mula, Naruto berjuang agar dirinya dapat bersama Hinata, meski harus menerima berbagai penolakan. Dan ketika sebuah masalah terjadi, dengan sifat sama-sama meninggikan ego, terlebih Hinata yang begitu sulit dilelehkan hatinya, mereka berakhir.
"Lupakan dia, Naruto. Ibu tidak ingin kau terus seperti ini. Dia yang bersikeras untuk pergi, jadi, jangan menjadi bodoh."
"..."
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
FanfictionMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."