Sekitar pukul sembilan, Hinata melangkah lemas untuk melewati jalur jalanan yang akan membawa ia tiba di rumah.
Setelah apa yang terjadi di apartemen Naruto, sejak itu pula Hinata sanggup menahan gejolak perasaan. Selama dalam perjalanan, hampir setiap menit dia akan menitihkan airmata -- tetapi selalu cepat-cepat dihapus agar tak menarik perhatian orang lain.
Hinata sengaja menghabiskan cukup banyak waktu dengan merenung sendiri di area taman beberapa saat lalu. Tak ingin segera pulang, karena mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum siap menatap wajah-wajah yang akan ditemui di rumah.
Tapi nyatanya, sampai saat ini pun, Hinata masih belum merasakan ketenangan barang secuil. Hatinya masih berseru pedih saat kalimat-kalimat yang Kushina lontarkan padanya terus memenuhi segala alam pikiran tanpa niat pergi sebentar saja.
Hinata tahu jika ini adalah kesalahan, tapi, haruskah setega itu?
Memang, Hinata juga merasa takut. Setelah melihat respon ibunda Naruto terhadap apa yang terjadi, Hinata menjadi semakin tak yakin untuk pulang. Tanggapan seperti apa yang akan diberi oleh paman dan bibinya jika tahu perkara ini? Apakah mereka akan bertindak serupa; marah dan memintanya melenyapkan?
Ini membuat Hinata semakin bingung dan selalu berdebat dengan diri sendiri.
Jika setuju dengan apa yang disarankan oleh bibi Kushina, mungkin Hinata akan terhindar dari masalah lebih besar dan Naruto bisa tetap mengejar mimpinya. Tapi, ... di satu sisi, Hinata tak tega. Hinata tak ingin membunuh apa yang telah menjadi satu dengan dirinya.
Pelan sekali, disentuhnya perut yang masih rata. Hari kelulusan yang seharusnya dirayakan dengan kebahagiaan, telah berubah menjadi kesedihan yang tak tertahan. Di saat teman lain sedang tertawa senang bersama keluarga dan kerabat, di sini, Hinata kalut dan dipenuhi airmata.
Mendadak saja, pikiran Hinata mengarah pada Naruto.
Hinata tak tahu bagaimana Naruto sekarang. Ia pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang untuk melihat Naruto.
Merasa jika pemikirannya terasa kian kacau, Hinata berhenti sebentar dalam melangkah. Jarak rumah tak begitu jauh lagi di pandangan mata. Hanya tinggal berjalan beberapa meter, maka, ia akan sampai.
Tak ingin penampilannya terlihat mencurigakan, cepat sekali -- Hinata membersihkan wajah. Ia hapus semua basah yang ada dan menormalkan tubuh yang masih sesegukkan kecil. Semoga saja matanya tak terlihat sembab.
Selanjutnya, dia melanjutkan perjalanan. Pintu terbuka pelan. Hinata berharap tak akan bertemu siapa pun di ruang tamu, tapi, ternyata di sana ada Natsu yang sedang menyaksikan serial televisi.
Walau sudah berusaha sepelan mungkin untuk melangkah, nyatanya, Natsu tetap menyadari dan memandang cukup terkejut.
"Sudah pulang? Mana Naruto?"
Hinata mencoba agar tatapannya tak bertemu langsung dengan Natsu, namun, tampaknya, penampilannya kini tak bisa berbohong sama sekali.
"Ada apa, Hinata?"
Hinata menggeleng. Senyuman lebar dia tampilkan untuk menepis dugaan. Jaminannya adalah hati yang terasa tak nyaman saat harus berpura-pura.
"Tidak ada apa-apa. Memangnya, ada apa, Bibi?" seceria mungkin dia menjawab.
"Kau terlihat kacau--"
"Naruto mengemudikan motor terlalu cepat. Mataku banyak berair terkena angin." Hinata meneguk ludah. "Dia menyebalkan."
"Lalu, mana Naruto?"
"Dia langsung pergi. Ada urusan penting, katanya."
"Oh ... kalau begitu, segeralah ganti pakaianmu dengan baju lebih hangat. Malam ini terasa dingin."
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
FanfictionMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."