Segala kegiatan berkemah selesai pada penghujung waktu yang ditentukan dan gerombolan murid sudah berbondong masuk ke dalam bus.
Hinata menyadari ada yang berbeda dari Rin. Jika biasanya sang sahabat akan banyak bicara, kali ini, Rin hanya menatap keluar jendela tanpa membuka mulut sekalipun.
Hinata memberi tepukan pelan pada pundak. "Rin, ada apa?"
Rin belum memberi jawaban, tetapi, Hinata sudah dibuat tersentak dengan sebuah pelukan. Rin tampak sedang sangat kacau.
"Ada apa?" pertanyaan serupa dilayangkan, namun, Rin tetap tak memberi respon.
Seingat Hinata, semalam, Rin masih terlihat baik-baik saja. Masih banyak tertawa dan melontarkan lelucon bersama yang lain.
Hinata paham jika telah terjadi sesuatu, hanya saja, ia merasa tak memiliki hak khusus untuk menuntut sebuah penjelasan. Hinata mencoba untuk tetap menghargai ruang pribadi Rin dan membiarkan sang sahabat meluapkan segala kesah dalam diam. Jikapun ada sesuatu yang akan terungkap, Hinata akan menunggu sampai Rin mau mengatakan karena keinginannya sendiri.
"Hinata, apa yang harus kulakukan sekarang?"
Kedua alis Hinata mengernyit tak paham.
"Perasaanku menjadi sangat tak enak."
Sedikit menunduk, Hinata menatap wajah tertunduk Rin dan menemukan kedua mata yang sedang berkaca.
Ia cukup tersentak. "Rin, kau menangis? Apa yang terjadi?"
Gelengan kepala Rin membuat rasa heran Hinata menjadi kian membuncah. Sungguh, sangat jarang baginya untuk melihat sahabat aktifnya menjadi pundung sedemikian rupa.
"Jika kau membutuhkan bantuan, aku akan coba menolong sebisaku."
Rin mengangkat wajah. Rautnya menatap sangat dalam, dan lanjut tersenyum miris. "Sungguh?"
Anggukan kepala Hinata terkesan tak begitu yakin, akan tetapi, dari hati terdalam, sebagai sahabat -- dirinya memang berharap bisa berguna sebagaimana fungsinya.
"Entahlah. Aku tak yakin jika kita bisa menyelesaikannya."
"Kenapa?"
Untuk detik berlalu, Rin hanya diam -- sebelum ia menaut kecil kepalan tangan di atas pangkuan.
"Hinata, terkadang ... aku merasa sangat cemburu padamu."
Tak jelas mengapa, Hinata seolah menangkap arti tersembunyi dari ungkapan kata yang Rin ucapkan.
"Naruto memperlakukanmu dengan sangat baik, seolah hubungan kalian lebih dari sekadar teman yang sudah lama saling mengenal."
Sedetik tanpa hambatan, ia tertegun. Segala bising yang terjadi di sekitarnya seolah lenyap dan hanya diisi oleh gema suara Rin yang memantul berkali-kali.
"Jika seandainya aku dan dia hanya menjadi teman, apakah Naruto juga akan berlaku serupa padaku?"
Hinata hilang kata. Ia coba mencari secercah cara untuk memberi hiburan, namun, kepalanya seakan dihadang oleh tembok kenyataan yang membuat logikanya berhenti beroperasi.
"Apa ini ada kaitannya dengan Naruto?"
Senyuman sendu Rin -- terpatri.
"Kalian bertengkar?"
"Entahlah. Aku mulai tak memahami hubungan apa yang kami jalani."
Mata hitam bertemu dengan lembut rembulan yang menyorot dengan alis menekuk kecil.
"Maaf karena sempat merasa cemburu padamu, Hinata. Aku hanya mulai tak bisa mengontrol diri sendiri setiap kali merasa jika Naruto semakin jauh dariku." Sebuah tarikan napas panjang dilakukan untuk mengurangi sesak yang tengah meraih hati. "Aku tak yakin seberapa jauh lagi hubungan kami akan terjadi. Seperti yang telah kukatakan, meski aku sangat mencintainya, aku tetap tak ingin menjadi pihak yang berjuang sendiri. Itu sangat melelahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
FanficMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."