Sudah sejak pagi tadi, Suran sadar ada yang berbeda dengan Hinata. Memang, ia bekerja giat seperti biasa, namun, nampak sekali bila sang sahabat tak begitu bersemangat dan terlihat seperti memiliki banyak pikiran.
Seperti ada yang mengganggunya, pun Suran berharap--ini tak ada kaitan dengan permintaan kenaikan gaji yang kerap Hinata sampaikan.
Saat tangannya menyentuh pundak, Hinata seketika tersentak.
"Apa yang kau pikirkan?"
Raut Hinata menampilkan keheranan. Suran menyilang lengan di dada seolah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengulik semakin jauh.
"Kau tak begitu fokus hari ini. Ada apa?" Sembari meraih keripik kentang, Suran menopang sebelah sikut pada meja. "Kau ada masalah?"
Hinata menggeleng. Ia tarik kelereng rembulannya agar menangkap penampakan deretan gaun setengah jadi yang berjejer rapi dekat dinding. Hinata harus menyelesaikan dua pesanan secepatnya dalam waktu dekat ini.
"Lalu, ada apa? Kau tampak tak bersemangat." Suran mengigit bibir bawah dengan pelan. Tutup toples yang tak terkunci sempurna, ia putar berkali-kali. "Ini ... bukan karena kau berniat resign lantaran tak mendapat kenaikan gaji, 'kan?"
Hinata sedikit tertegun akibat komentar bernada sedih dari mulut Suran. Tak ada terbesit perihal tersebut dalam dugaan Hinata.
"Astaga, kenapa kau bisa berpikir sampai ke sana?"
"Ini karena kau terlalu sering mengatakannya. Awalnya memang bisa jadi lelucon, tapi, semakin dipertimbangkan, aku mulai merasa jika kau sungguh-sungguh terhadap hal itu."
"Aku hanya bercanda, Suran. Jangan dipikirkan secara berlebihan. Lagi pula, bagaimana mungkin aku keluar? Ini adalah pekerjaan paling nyaman yang kulakukan, apalagi bersama teman dekat."
"Mana tahu jika kau sudah mendapat pekerjaan baru yang lebih baik dan gaji yang jauh lebih menjamin. Aku menjadi pesimis karena masalah ini."
Astaga, Suran ada-ada saja. Hinata menjadi tak bisa menahan diri untuk tertawa.
"Jangan tertawa! Aku serius!"
Lihat? Mungkin, dia sedang dalam masanya.
Mendadak, tawa Hinata terhenti. Ucapan Suran yang mengungkit pekerjaan lain--mengingatkan ia pada kegiatan bimbingan yang akan dia lakukan.
Baiklah, meskipun gajinya tak pernah mendapat kenaikan yang signifikan sejak awal bekerja bersama, namun, Suran selalu memberi toleransi bagi Hinata ketika melaksanakan kegiatan lain. Ini termasuk poin tambahan yang Hinata dapati dari betapa pengertiannya sang sahabat.
"Oh ya, Suran, sebenarnya ..., kemarin aku mendapat pekerjaan lagi untuk mengajar."
"Sungguh? Itu bagus, bukan?"
"Ya, tapi, ..." Hinata menatap dengan pandangan memelas, dan sebelum mengatakan apa niatnya, Suran telah memahami apa yang akan terjadi.
"Aku mengerti. Kau bisa melakukannya. Kau boleh mengatur waktumu lagi seperti sebelumnya."
"Sungguh?" Hinata mendekat. "Aku jadi tak enak karena sudah sering merepotkanmu."
"Merepotkan apa?"
"Aku sering meminta pemotongan waktu kerja dan membuatmu kesulitan karena harus mengerjakan beberapa hal sendiri."
"Tidak biasanya kau berkata begini. Biasanya, ketika di-iya-kan, kau langsung semangat dan meninggalkanku begitu saja." Suran menggeleng. "Kalau memang menjadi tak enak hati, aku cabut kembali izinnya agar kau bisa kerja penuh waktu seperti biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔
FanfictionMereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut." "Naruto, apa rahasia paling besar yang kau simpan?" "Hinata."