25. Sakit yang tak terobati

103 21 58
                                    

🎶╣⁠[⁠-Mulmed: Muak by Aruma-⁠]⁠╠🎶

(Bantu koreksi kalo ada typo ya)

"Aku hanya lelah. Sangat lelah. Aku ingin menghilang beberapa saat."

Sejak pertengahan Agustus, Jimin pikir ia bisa tenang dengan pergi ke sebuah tempat yang tidak ada orang mengenalinya. Ia justru tertekan dan berakhir kembali lagi kemari untuk melakukan sesuatu yang harusnya memang sudah sejak dulu dilakukan.

"Coba tanyakan apa yang dirasakan ayahmu dulu, Ji. Kalau ayahmu salah, boleh jadi kau marah. Namun setidaknya dengarkan dulu, jangan malah begini, membuat jarak yang bahkan semakin jauh. Dia adalah ayahmu, dan biar bagaimanapun kau tetaplah putranya."

Dalam pikirannya, abeoji tetaplah orang yang egois. Delapan tahun lalu saat dirinya terjebak dalam tuduhan kekerasan pada Taehyung, yang abeoji lakukan hanyalah melindungi nama baik. Abeoji yang serakah, egois. Jimin pikir abeoji terlalu takut nama beliau akan kotor karena saat itu abeoji sedang berada di masa percobaan, untuk para direktur-direktur yang baru diangkat. Abeoji cuma memberikan sejumlah uang dan selembar kertas berisi perjanjian damai pada keluarga Taehyung. Abeoji terlalu takut membawa kasus Jimin ke jalur hukum, takut kalah, takut malah terdampak ke hal yang lebih buruk.

Bahkan saat baru masuk kuliah abeoji tak pernah mau mengatakan Jimin sebagai putranya secara terang-terangan, barangkali itu juga karena takut nama beliau akan kotor karena putranya yang pernah terlibat skandal kekerasan. Karena alasan itulah tidak banyak orang yang tahu bahwa Jimin memang putra kandung dari direktur kampus mereka, beberapa dari mereka cuma mendengar gosip yang tak pernah mendapatkan konfirmasi.

"Jeong, boleh tidak-" Jimin membuat gesture kedua belah tangan terangkat seperti seseorang yang membutuhkan pelukan.

Badan Jimin yang kini dibaluti oleh seragam baseball setengah kotor──barangkali karena jatuh saat bermain──kini bersinggungan dengan pakaian Jeongyeon yang berhimpitan dengannya. Jimin menahan tangis, tampak berat sekali.

Lalu Jeongyeon memberi Jimin tepukan pelan pada punggung, sekiranya agar lelaki tersebut bisa lebih tenang meski hanya sedikit. "Aku lelah. Pikiranku kacau. Semua orang cuma membebani. Aku ... tidak bahagia." Perlahan Jimin mengangkat dagunya yang tadi bertopang pada bahu Jeongyeon, kini ia tunjukkan wajah yang bengkak dan basah oleh air mata. "Andai aku tidak bertemu denganmu, mungkin aku masih bisa menahan semuanya sendiri."

"Ji-"

"Aku lelah."

Sekejap Jeongyeon menatap layar ponselnya yang kini tergeletak di atas kursi taman di samping badannya, layar tersebut terus menyala sejak tadi. Seokjin menelpon berkali-kali, ada juga pesan yang dikirim. Pikirnya kenapa Seokjin menghubunginya di saat yang salah begini.

Sebenarnya Jeongyeon sadar bahwa mungkin saja Seokjin tengah khawatir sebab malam telah singgah sedang dirinya tak kunjung pulang ataupun membalas pesan. Kini mereka berdua pindah ke taman karena tidak nyaman rasanya berada di halte sedang orang-orang silih berganti datang untuk menunggu bus.

Karena kesal pada Seokjin yang terus-menerus menghubungi, Jeongyeon langsung mematikan ponselnya. Sekarang ia menatap Ryu Jimin balik, memperhatikan matanya yang merah, pelupuknya yang bengkak. Hidungnya juga merah, begitu juga bibir penuhnya terlihat semakin membengkak.

Tanpa aba-aba Jeongyeon mempertemukan belah bibirnya dengan milik Ryu Jimin yang sungguh sudah bengkak lebih dahulu. Lelaki itu kaget, bahkan tidak bergerak untuk beberapa saat meski pada akhirnya ia menutup mata juga. Beberapa detik Jeongyeon biarkan, lalu ia menjauh seraya menatap wajah heran lelaki itu.

Epistolary: I'm Your Home✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang