26. Hujan dan dirimu

107 24 50
                                    

╣⁠[⁠-Chapter ini agak pendek, but it's amazing -⁠]⁠╠

Gerimis turun pada akhirnya setelah lama awan hitam yang menggumpal pada troposfer. Jeongyeon menyingkap sedikit gorden menatap butir-butir tangisan awan yang perlahan jatuh menyapa bumi di musim gugur. Beriringan dengan itu sorot cahaya dari lampu motor menyorot menuju gerbang rumah, melihatnya Jeongyeon memicingkan mata.

"Oppa?" Jeongyeon bergumam pelan lalu membuka pintu balkon dan berteriak ke arah sorot silau lampu motor di depan gerbang yang ia lupa menutupnya. "Oppa! Apa ada yang ketinggalan?" Kemudian ia lari keluar kamar dan menuruni tangga.

Jeongyeon mengambil sebuah payung hitam milik Seokjin yang biasanya diletakkan di belakang pintu. Kemudian ia membuka pintu, menampilkan sosok yang setengah basah gara-gara gerimis. "Ji?" Jeongyeon tertegun.

"Aku lelah."

Jeongyeon kini menatap Jimin dengan sorot mata kebingungan. Setelah mengeluh badan lelaki itu limbung ke arahnya, sehingga mau tidak mau harus menangkap sekiranya agar badannya tidak jatuh.

Pipi Jimin basah, sama seperti matanya, entah itu karena air hujan atau memang sudah basah terlebih dahulu. Badannya bergetar kedinginan.

Sebab merasa tak tega, Jeongyeon membawa Jimin masuk ke dalam. Ia berikan waktu untuk lelaki itu menyalin bajunya dengan pakaian milik Seokjin di kamar lamanya sementara dirinya menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan minuman panas untuk lelaki yang kedinginan tersebut.

Malam ini, ketika Jeongyeon masuk ke kamarnya──yang mana Jimin juga ada di sana──netranya bertemu dengan lelaki itu. Sorot menyedihkan. Lelaki itu duduk di sisi kasur dengan kaki menjuntai.

"Tidak ada orang ya?" Jimin bertanya. Lalu Jeongyeon jawab bahwa di rumah ini memang cuma ada dirinya sendirian, sedang kedua orangtuanya sibuk di luar kota. Sementara Seokjin yang biasanya menginap akhir-akhir ini memang terlihat sibuk sehingga tidak punya banyak waktu senggang lagi.

Jeongyeon berikan minuman panas itu pada Jimin seraya menunggunya di samping. Sembari menutup-nutupi minuman tersebut perlahan, Jimin sesekali melirik gadis di sampingnya.

"Jadi, bagaimana?" Jeongyeon bertanya.

Menghabiskan setengah minuman yang diberikan Jeongyeon, kini Jimin letakkan cangkirnya ke atas nakas.

Belum lagi sempat berkata apapun Jimin sudah lebih dahulu runtuh dengan pertahanannya. Lelaki itu menyerah dengan rasa sesak yang telah melingkupi. Secepat mungkin Jeongyeon menangkap badan yang bergetar tersebut, dan membawanya ke dalam pelukan.

Jimin yang telah puas memendam semuanya sendiri kini mulai mencoba terbebas dalam kurungan duka itu. Sedikit demi sedikit ia membuka diri, mulai menceritakan detailnya meski terbata-bata. Jeongyeon yang paham langsung berkata padanya agar jangan ragu untuk menangis selagi itu dapat membuatnya lebih tenang.

Di luar sana tangisan awan kian deras seiringan angin yang juga mengamuk. Ranting dari pohon hias yang Seokjin tanam tepat di samping kamar Jeongyeon bertahun-tahun lalu tersebut menggoresi kaca jendela hingga menciptakan decitan mengerikan.

Keributan di luar sana menemani kesedihan Ryu Jimin. Langit turut sedih. Lelaki itu hancur, benar-benar hancur. Bagaimana mungkin lelaki itu berani menunjukkan kehancurannya pada orang asing? Keluarga bukan, teman dekat bukan, kekasih juga bukan. Yang pasti ia bisa meluapkan semuanya saat bersama gadis ini lalu merasa tenang.

Jeongyeon biarkan Jimin meluapkan seluruh keluh kesahnya sekarang. Membiarkannya bercerita tentang keluarga, seluruh duka, dan beban-beban yang terus membuat punggungnya terasa berat.

Epistolary: I'm Your Home✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang