🥀___🥀
"Jazzz" Iren berdiri menyambut Jazziel, raut wajahnya sangat khawatir. Sebenarnya tubuh Iren bergetar, semenjak suasana tidak terkendali terjadi dirumahnya tadi ia menjadi sangat tidak tenang. Apalagi mengetahui fakta yang sangat mengejutkan, membuatnya tidak bisa untuk tidak gelisah. Diujung sofa ada Chelsea yang sesekali sesenggukan dipelukan Ajisaka dan Papa. Gadis itu terguncang, Chelsea belum pernah melihat perkelahian secara langsung. Ini adalah pertama kalinya.
"Mamas mana??"
Suasana rumah sangat sepi, seperti tidak ada penghuni lain selain mereka yang sedang duduk diruang tamu sekarang.
"Mas Mahen nganter keluarganya Nana ke stasiun"
"Nana nya??"
"Pulang ke kost. Mama mau nahan tadi, kasihan banget dia. Mama sempet mau nahan tapi kayaknya Nana juga lagi ngerasa gak enak banget sama Mama. Helia, gimana Jazz??"
"Gak ada yang salah sama Helia, Bunda juga udah sedikit tenang. Makanya aku bisa kesini" Jazziel memperbaiki duduknya, pemuda itu duduk dibawah untuk berlutut diantara kaki Mama dan Papanya.
"Mam, Pap, aku minta maaf mewakili Helia dan Bunda untuk semua yang terjadi tadi. Itu diluar kendali, aku sama sekali gak nyangka hal seperti itu bakal terjadi, kalaupun nanti pandangan mama atau papa berubah ke Helia dan Bunda, aku mohon untuk sama sekali jangan ganggu rencana pernikahan kami"
Penyebab keributan hari ini adalah Bunda, kalau saja Bunda tidak tiba-tiba menampar ayah maka keributan seperti ini harusnya bisa dihindari, tapi alih-alih menyesal, Jazziel malah berharap yang bunda layangkan tapi bukan hanya tangan, tapi pisau juga.
"Kamu ini ngomong apaa" Papa melepas pelukan Chelsea sebentar untuk mengelus bahu Jazziel. "Kita sama-sama tahu kalau kejadian seperti tadi itu diluar kendali kita. Sama sekali gak ada niat kami untuk batalin pernikahan kalian nak, jangan jadiin mama sama papa jahat dipikiran kamu"
Jazziel menunduk haru, suasana mengharukan seperti ini sudah lama tidak ia rasa. Semenjak punya adik dan sudah bisa mengurus diri sendiri, Jazziel pun sudah jarang bercengkrama mesra dengan keluarganya. Kalimat Papa barusan benar-benar membuatnya merasa kalau dirinya ini pun masih seorang anak yang tetap butuh afeksi keluarga.
🥀___🥀
"AAAAGGGHHHHHH"
Suara lemparan barang kembali terdengar dari kamar yang hanya berukuran 3x3 meter persegi itu, bentuknya sudah tidak berupa. Barang-barang yang semula ada ditempatnya kini sudah berhamburan dilantai.
"Gue benci, benci, benci!!!!"
Nana, oknum yang sedang berusaha melampiaskan rasa amarahnya kepada barang-barang yang ada dikamarnya duduk menyerah. Sudah hampir semuanya ia lempar tapi amarahnya belum juga lega. Masih ada gumpalan besar yang mengganggu dihatinya.
Nana marah, tapi ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya kepada ayah dan ibu. Semarah apapun Nana, ia tidak boleh melewati batas, bagaimanapun ayah dan ibu yang sudah merawatnya dari kecil.
"Kenapa harus gue hiks!! Dari sekian banyak anak, kenapa gue harus lahir di keluarga yang bahagia diatas penderitaan orang, KENAPAAAAA"
Rambutnya ia tarik kuat, bahkan segumpal tebal sudah terlepas dari kulitnya. Nana tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi rasanya ia tidak sanggup untuk membayangkannya, Nana rasa ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Ditengah kesedihannya, matanya menangkap cutter didekatnya. Nana ingat sekali kalau cutter itu ia gunakan beberapa hari yang lalu untuk membungkus kado pernikahan Helia dan Jazziel, kado tersebut sudah disimpan rapi didalam lemari.
Perlahan Nana meraih cutter tersebut, tapi belum sempat jemari Nana menyentuhnya, cutter itu sudah ditendang jauh.
"JANGAN GILA NANA!!!!"
Nana mengdongak, mendapati Helia yang menatapnya nanar. Nafas Helia tersengal, mungkin gadis itu berlari agar lebih cepat sampai dikamar Nana.
"Lo kenapa kak??" Tatapan Nana kosong. Ia tidak tahu harus bersikap apa kepada Helia karena ia terlalu malu, sebenarnya untuk menatap Helia pun ia tidak sanggup. Membayangkan kehidupan sengsara Helia dan Bunda Dani membuat hati Nana sakit.
"Na, jangan gini please" Helia mensejajarkan duduknya dengan Nana, hatinya terisis menyaksikan kondisi Nana yang sangat berantakan.
"Aturannya lo caci maki gue aja kak, jangan baik gini"
Helia tak mengindahkan kalimat Nana, gadis itu bergerak untuk membawa Nana ketempat yang lebih rapi. Ia halus menenangkan Nana terlebih dahulu.
"Na, dengerin kakak" Helia memaksa Nana untuk menatapnya, meskipun susah.
"Ini sama sekali bukan salah lo, kisah orangtua kita, biar jadi urusan mereka. Mereka bisa nyelesaikan masalahnya sendiri, tapi lo. Lo gak boleh goyah, mungkin ibu lo salah, tapi gak dengan lo Na"
Air mata Nana kembali meleleh, ada sedikit perasaan lega karena Helia memvalidasi kalau ini semua bukan salahnya.
"Tapi karna gue kak, karna gue lo gak ngerasain apa yang harusnya lo rasain"
"Bukan karna lo" Potong Helia cepat. "Kalaupun itu bukan ibu lo, ayah juga pasti sama orang lain Na" Setelah mengucapkan kalimat itu, Helia menelan ludahnya susah payah. Ia harus menerima kenyataan pahit kalau nyatanya sang ayah sama sekali tidak mencintai bundanya lagi, dan kemungkinan ia pun sama. Ada kemungkinan ayahnya pun tidak mencintainya.
"Lo gak boleh baik sama gue gini kak, lo harusnya marah-marah atau tampar gue sekalian. Kak, puasin diri lo kak!!!" Nana meraih tangan Helia dan memukulkannya kebadannya sendiri. Helia berusaha kuat untuk menarik tangannya kembali tapi susah karena energi Nana yang juga kuat.
Tapi Helia tidak kehilangan akal, satu-satunya jalan hanya ia segera memeluk Nana agar gadis itu tidak berusaha memukul dirinya sendiri.
"Nanti, kakak pasti marahin kamu tapi nanti. Sekarang kamu tenang dulu. Naa, emosi gak akan bawa kemenangan apapun"
Detik itu juga, tangis Nana semakin menjadi.
🥀___🥀
Ay-yo emosinya ditampung dulu (karna part selanjutnya Jayden dapet kesempatan spikup)
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me?
Fanfiction"Katanya cinta sedalam samudra" Nohyuck slight Markmin ⚠️ little angst with happy ending