🥀___🥀
Semenjak kejadian hari itu, dirumah keluarga Widianto tidak ada yang berani membahas tentang pasangan dua putra tertua mereka. Pasalnya mereka menyaksikan secara langsung keributan yang seharusnya tidak mereka ketahui, Iren sudah mengingatkan anggota keluarga lain untuk tidak membahas masalah Nana dan Helia.
"Ada mobil Abang di depan, pulang anaknya??" Surya duduk disebelah Iren setelah sebelumnya ia meletakkan tasnya kerjanya terlebih dahulu.
"Mana?? Gak ada ih mobil Abang"
"Lha itu Range Rover didepan punya siapa??"
Iren mencondongkan badannya sedikit maju, meskipun percuma karena mobil yang suaminya maksud itu tidak akan terlihat. "Mobil Lia itu Pa"
"Lia kesini??" Surya memutar tubuhnya tepat menghadap Iren, karena sempat dilarang istrinya, jadi selama beberapa hari ini Surya sangat menahan diri untuk membicarakan Helia. Anggukan Iren membuatnya sedikit lega.
"Tapi lagi pergi, katanya Lia mereka harusnya kemarin ketemu banyak pihak tapi di cancel. Jadinya hari ini mau ketemu semuanya sekaligus"
Surya mengangguk faham, setahunya yang sudah clear memang baru katering dan undangan saja. Mereka tidak menggunakan undangan fisik, semuanya pakai undangan digital. Helia bilang, ia tidak mau banyak membuat banyak kerjaan, jadi dana untuk undangan bisa dialihkan untuk souvernir.
"Ma...."
"Hmmmm"
"Artinya Helia sama Nana tuh kakak adek dong?? Satu ayah kan? Hitungannya kandungkan Ma?"
Iren meletakkan iPadnya, ia juga sudah kepikiran yang Surya ungkapkan tadi sejak satu hari setelah pertengkaran.
"Mama gak tahu Pa, tapi kalau Helia sama Jazziel nikah, Nana sama Mahen juga gak akan bisa nikah. Mahen sama Jazziel tuh adik beradik, Helia sama Nana juga kakak adik, kalau silsilah keluarga itu, gak bisa Pa" Keduanya sama-sama menghembuskan nafas pelan. Tidak menyangka kalau kisah cinta dua putranya akan serumit ini.
🥀___🥀
"Kita mau kemana lagi??" Jazziel menutup pintu mobil, pemuda itu turun untuk membelikan Helia pentol bakar mamang-mamang ditepi jalan.
"Harusnya udah ya, semua janji udah ketemu. Mungkin abis ini kita tinggal lunasi dp-dp kita kemarin" Ucap Helia yang mengundang tawa Jazziel. Meskipun terlihat serius, tapi Jazz tahu kalau pacarnya itu tengah bercanda.
"Duhh ayy. Kamu kalau gak sama aku, sama siapa?? Siapa lagi yang ngerti sisi humor kamu yang kayak ginii"
"Makanyaa perjuangin"
Jazziel diam, tatapannya lurus menatap Helia. Tapi sedetik kemudian senyumnya kembali terbit bersamaan dengan tangannya yang naik untuk mengelus rambut lurus Helia.
"Apapun itu, asal bisa bikin aku sama-sama kamu terus bakal aku lakuin ayy" Ucap Jazziel. "Aku udah pernah nawarin belum sih??"
Helia terkekeh, "Nawarin apaaa?"
"Nawarin buat jadi sandaran kamu?? Buat jadi satu-satunya manusia yang tahu kalau kamu itu juga lemah, buat jadi satu-satunya manusia yang bisa dengerin tangis kamu. Buat jadi satu-satunya manusia yang bisa dengerin semua hal ribut disini" Jazziel mengetuk kepala Helia pelan dengan telunjuknya.
Helia itu tenang padahal kepalanya selalu ribut. Helia itu kuat padahal disentil sedikit ia bisa menangis hebat, Helia itu tangguh padahal inner nya takut. Helia tidak pernah memperlihatkan didik lemahnya meskipun orang-orang seperti Jazziel selalu tahu ada dimana titik itu, seperti sekarang contohnya. Helia tidak bisa kalau ada yang berbicara menggunakan kelemahan yang ia kuatkan.
"Tentang ayah kamu, tentang keluarga baru ayah kamu, tentang Nana, gimana hubungan kita kedepannya, harus dibicarakan kan sayang??"
"Jazz, aku—"
"Is okay" Jazz menggenggam tangan Helia erat. "Aku selalu bilang kan?? Gak harus sekarang, aku bakal nunggu kapan pun kamu mampu buat cerita. Aku mau kamu terbuka sama aku gak berarti aku maksa-maksa kamu. Semuanya balik lagi sama kamu"
Helia kehilangan kata-katanya, secara sepihak ia menarik Jazziel untuk ia peluk. Memeluk Jazziel erat. Pelukan Jazziel mampu menenangkannya karena Jazziel ada manusia kedua yang ia tahu memeluknya, setelah bunda tentunya. Sekali lagi, Jazziel itu mengerti tentang Helia. Tangannya bergerak naik untuk mengelus belakang Helia, berharap gadis itu benar-benar merasa nyaman dan aman.
🥀___🥀
Nana menatap jam di pergelangan tangannya, gadis itu memakai serba hitam hari ini dan terlihat sangat tertutup. Tentu masker yang ia kenakan tidak bisa menutupi matanya, yang menatap Nana akan tahu kalau gadis itu kebanyakan menangis akibat matanya yang sekarang sembab itu.
Ponsel digenggamnya sedari tadi tidak berhenti bergetar, nama Mahen tertera jelas disana. Mungkin kalau dihitung, sudah ratusan kali Mahen mencoba menelfonnya dan beratus pesan juga yang masuk dari berbagai aplikasi yang bisa mengirim pesan. Tidak ada satupun pesan atau telfon dari Mahen yang Nana perdulikan, karena keputusannya sudah bulat.
Nana sadar diri, kehadirannya bisa saja menyakiti orang lain. Sewaktu ia kecil mungkin ia tidak sadar akan hal itu, tapi sekarang Nana sudah cukup besar untuk sadar dan mengerti seperti apa rasa sakit itu. Karena itu pula ia mengambil keputusan ini, menyelesaikan hubungannya dengan Mahen adalah langkah pertama yang harus ia lakukan.
"Maaf" Ucap Nana kepada dirinya sendiri, sebelum akhirnya ia melangkah untuk masuk kedalam kereta yang sebentar lagi akan membawanya pergi jauh dari kota Neo ini. Terima kasih untuk lima tahunnya, semua kenangannya di Neo tidak akan pernah ia lupakan termasuk cintanya yang tidak akan pernah punya pengganti.
"Selamat tinggal, semoga bahagia"
🥀___🥀
Maaf ya kemarin gak update, soalnya aku capek bangetttt
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me?
Fanfiction"Katanya cinta sedalam samudra" Nohyuck slight Markmin ⚠️ little angst with happy ending