× 3 ×

6K 471 8
                                    

Seorang anak berlari sekuat tenaga sambil menangis ketakutan. Melarikan diri dari perempuan yang tengah berjalan pincang sambil membawa pisau dapur di tangannya.

Tersenyum miring mengejar anak kandungnya sendiri. Berniat membunuhnya karena menganggap anak itu adalah sebuah kesalahan.

Sedangkan si anak terus berlari tunggang langgang menjauh. Tapi keberuntungan sepertinya tidak memihak padanya.

Jalan yang ia lalui membuntu dan sang ibu makin mendekat dengan tawa lirih yang terdengar mengerikan.

Jatuh terduduk di atas tanah, anak itu meringkuk ketakutan saat ibunya sudah mengacungkan pisau dan siap menghunuskannya kapan saja.

“J-jangan...”

Mendengar perkataan lirih anaknya, sang ibu malah berteriak kencang. Mengayunkan pisau yang dibawa ke arah tubuh kecil anaknya bergetar makin takut.

Tititit!!!

Tititit!!!

Giri sontak terbangun dari tidur saat mendengar alarm dari jam weker. Napasnya tersengal. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis.

Giri menyadari posisinya masih sama seperti kemarin saat menangis. Dia terdiam beberapa menit setelah meraih jam weker di nakas sebelah kasur untuk menghentikan bunyi alarmnya.

Sekarang pukul enam pagi. Cahaya matahari masih malu-malu untuk bersinar terang. Udara sekitar juga terasa cukup dingin. Dengan perlahan Giri menetralkan napas yang tadi tak beraturan.

Mengubah posisinya menjadi duduk membelakangi kasur untuk menyandarkan punggung. Samar-samar Giri mengingat mimpi barusan.

Itu menakutkan.

Mimpi tentang masa lalu yang kadang masih sempat menghantui tidurnya. Selalu membuat air mata dengan segera menetes karena takut, sedih, dan bersalah secara bersamaan.

Jika saja...

Jika saja waktu itu Giri benar-benar harus dihabisi oleh ibu kandungnya sendiri, mungkin itu akan mengurangi beban penderitaan yang dimiliki ibunya.

Mungkin sekarang Samuel tidak akan kehilangan sosok ayah. Mungkin Rika juga tidak perlu bekerja keras untuk menghidupi dirinya.

Giri juga tidak perlu menjadi orang asing yang berlagak sebagai anggota dari keluarga ini. Ia tidak perlu merasa lelah bersandiwara seakan semuanya berjalan dengan baik-baik saja.

Beralih Giri memeluk lututnya sendiri. Kemudian membenamkan wajah untuk meredam suara tangisan.

Ini semua salah.

Semua sepantasnya tidak berjalan seperti ini.

Kalau pilihan itu memang ada, Giri tidak ingin terlahir dan membuat semua orang di kehidupannya sekarang harus merasakan derita di setiap menit yang sama dengan yang dilaluinya.

“Pagi Giri,” sapa Rika ketika Giri datang. Ikut bergabung di meja makan.

“Pagi Ma,”

“Ini masakan kamu yang kemarin Mama angetin. Kamu kok masaknya banyak banget?” tanya Rika. Ia mengisi piring Giri dengan nasi setelah bungsunya menundukkan diri di kursi seberang.

Dan tentu saja makanannya masih banyak. Kemarin Samuel maupun Giri tidak makan sama sekali.

“Maaf Ma, kemarin Giri keasikan. Sampe nggak nyadar kalo masaknya banyak-banyak,”

“Gapapa, masakan kamu enak. Nanti juga Mama mau bungkus buat bekal ke kantor.”

Yang dipuji hanya tersenyum menanggapi Rika. Sebelum mulai memakan makanan di piring, Giri sempatkan untuk melirik ke kursi tempat Samuel duduk di sebelahnya. Itu karena tidak ada orang yang duduk di sana.

𝐆𝐈𝐑𝐈 | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang