× 14 ×

5K 335 8
                                    

Giri mengepalkan tangannya dengan erat. Kegugupan menyerang ketika ia telah berdiri di depan pintu kamar tempat ibu kandungnya menetap di rumah rehabilitasi yang kini ia kunjungi bersama Samuel.

Ketakutan dan rasa gundah mulai menghampiri Giri. Keringat dingin mengucur deras sedari ia turun dari parkiran kemudian melangkah ke dalam rumah rehab.

Dan kini tubuhnya juga mulai bergetar menahan tekanan yang seketika datang entah darimana.

Sam di sebelah Giri meraih kepalan tangan yang lebih muda. Mengusapnya sekilas dengan jempol sebelum membawa jemari yang lain ke sela-sela ruas jari tangan milik Giri.

"Gapapa," bisik Samuel dengan pelan.

Giri memaksakan diri untuk tersenyum, berusaha menenangkan perasaan yang berkecamuk agar Samuel tidak ikut khawatir karenanya.

Hari ini, hari di mana Giri akan kembali bertemu ibu kandungnya sendiri setelah hampir sepuluh tahun lamanya.

Ketika beberapa waktu lalu setelah pembicaraannya dengan Rika dan segala upaya untuk menguatkan diri, akhirnya Giri memberitahu Samuel bahwa ia sudah siap.

Siap melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak lama, menghadapi kemudian berdamai dengan segalanya.

Namun tetap tidak bisa dipungkiri, ketakutan itu masih ada. Masih menghantuinya. Ketakutan yang muncul karena tidak ingin kembali dibuang dan dianggap sebagai pembawa sial. Walaupun sebenarnya dari awal Giri memang selalu merasa demikian.

"A-aku... Aku mau pergi dulu sebentar..."

Tanpa sempat menoleh ke arah Samuel, Giri telah berlari menjauh. Membiarkan ke mana pun langkah kaki membawanya pergi.

Dia ternyata tidak siap. Giri mengakui dirinya memang pengecut dan sepenakut itu untuk berdamai dengan masa lalu dan dirinya sendiri.

××ו×××

Giri meneraturkan napasnya setelah ia kelelahan berlari tanpa arah dan berakhir terduduk di salah satu bangku taman rumah rehab.

Kepalanya menunduk dalam. Air mata keluar tanpa permisi dan meluruh dengan deras. Giri kesal. Dia marah. Tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Karena saking tidak karuannya perasaannya, Giri sampai menangis karena kebingungan harus berbuat apa.

Setelah beberapa menit berlalu, ada sebuah tangan yang tiba-tiba menyodorkan saputangan di hadapannya.

Giri mendongak, mendapati seorang anak laki-laki berseragam SMA. Wajahnya yang berdarah campuran nampak khawatir dan panik melihat Giri menangis.

"Eh.. Anu, itu Dek... Eee.. dilap dulu air matanya."

Giri tersadar dan mengangguk samar. Tangannya perlahan menerima uluran saputangan pemberian si anak SMA yang kini beralih duduk di sebelahnya.

Lalu kenapa dia malah dipanggil 'Dek'? Jelas-jelas Giri yang lebih tua.

"Makasih ya.." ucap Giri seraya menyerahkan kembali saputangan yang ia pakai pada pemiliknya.

"Diambil aja Dek, di rumah gue bejibun. Sebenarnya Mama gue itu mau buka toko saputangan apa gimana sih?"

Mendengar orang di sebelahnya justru menggerutu, Giri menarik kembali tangannya dan beralih diam dengan sisa suara isak tangis. Dia merasa malu sendiri karena kepergok menangis di hadapan seorang bocah SMA.

"Ngomong-ngomong, nama gue Ren. Biasanya sering disamain sama Renjun NCT, kalo Adek siapa?"

"Saya Giri," jawab Giri dengan lesu.

𝐆𝐈𝐑𝐈 | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang