× 21 ×

3.3K 213 5
                                    

Previously...

"Sa pu kawan sering sekali diajak belajar di rumahnya, tapi kena tolak terus. Sampai de akhirnya mau saja asal kawan-kawan yang lain ikut. Kitong ke sana berlima, memang belajar sama-sama.

"Waktu istirahat sebentar, sa deng tiga orang kawan lain mo pi keluar beli jajan. Kitong tinggal itu guru bule deng de. Untung sonde sampai warung, baru setengah jalan sa ingat kalau dompet tertinggal, cepat-cepat sa balik lagi."

Giri maupun Kavi masih khusyu mendengarkan. Mereka agak khawatir dengan keadaan Omar yang mulai bergetar.

"Sa masuk ke rumahnya, sa lihat di sana... Sa pu kawan sebangku su ditelanjangi, su dilecehkan deng itu guru bule."

××ו×××

Tangan Omar mengepal. Dia tak kuasa menahan gejolak sakit hati dan perasaan bersalahnya selama ini.

"Sa pukul de! Sa mo pukul sampai de mati! Tapi sa masih pikir keadaan kawan sa!"

Napas Omar tersengal, ia mulai menangis. Kening Omar mengkerut seiring isak tangis yang mulai terdengar.

Kavi mengusap pelan pundak Omar, entah kenapa ia bisa mengerti bagaimana hancurnya Omar karena tidak bisa melindungi orang dekatnya.

"Makanya sa marah-marah! Sa takut ko jadi bajingan bejat macam bule homo itu! Sa takut ada korban lain yang bernasib sama deng sa pu kawan!" kata Omar dengan suara getir diselingi cegukan, dia mengusap kasar wajahnya yang basah.

"Ko pikir saja Kavi! Sebagaimana traumanya kawan sa? Sebagaimana de takut deng laki-laki selain yang su kenal?"

Kavi mengangguk paham, sementara Giri menunduk. Suasana dingin kembali menyeruak di ruang rawat Omar.

Kini semuanya jelas. Omar bukan benci atau tidak menyukai LGBT, dia hanya takut jika teman-temannya sekarang juga ikut menjadi orang jahat atau korban kejahatan itu sendiri.

Omar takut terlambat untuk menolong orang-orang di dekatnya lagi.

××ו×××

Suara dari speaker TV terdengar memenuhi ruang tengah, tempat Giri dan Samuel berada sekarang.

Mereka duduk bersebalahan di sofa panjang sambil menonton TV. Samuel menyandarkan kepala pada milik Giri yang bersandar di bahunya, merangkul sang adik dengan penuh kehati-hatian dan selembut mungkin.

Tidak ada yang berbicara dikarenakan Samuel yang memang pada dasarnya selalu bicara kalau perlu saja dan Giri yang kini kembali jadi pendiam—dia melamun.

"Kenapa?"

Giri berdeham seraya mendongak sedikit untuk melihat Samuel. Dia lantas menggeleng pelan, kembali melihat TV yang masih mengoceh atau setidaknya terlihat seperti itu.

"Kenapa melamun sayang?"

Samuel berbisik, sukses membuat Giri tegang dan tersadar sepenuhnya karena panggilan ditambah suara kakaknya yang terdengar lebih berat.

Giri refleks meluruskan duduk, dia menengok patah-patah pada Samuel karena dilanda perasaan gugup.

Kekehan terdengar dari bibir Samuel, tangannya terjulur untuk mengusap kepala Giri sebelum kembali membuka pembicaraan.

𝐆𝐈𝐑𝐈 | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang