× 20 ×

3.9K 241 9
                                    

Beberapa minggu berlalu semenjak kemarahan Omar. Beberapa minggu itu juga Giri selalu berusaha bicara dengan Omar, tapi tidak pernah berakhir baik. Giri justru ikut dijauhi.

Sampai sekarang pelaksanaan ujian akhir semester pun Omar tidak pernah mengajak Giri apalagi Kavi untuk sekedar bertegur sapa. Omar sebisa mungkin menghindari mereka, dia memilih bermain dengan yang lain ketimbang Giri dan Kavi.

"Gue paling nggak bisa sama Economic Math! Kok lo lancar-lancar aja sih sama matkul itu?!" tanya Kavi pada Giri setelah mereka menyelesaikan ujian mata kuliah terakhir hari ini.

Ia merasa tidak adil karena semalaman sudah belajar tapi tetap tidak bisa menjawab semua soal ujian dengan baik, bahkan seperempat diantaranya mengarang indah. Sementara Giri justru terlihat lancar jaya ketika mengerjakan ujian tadi.

"Yah.. nasib aku lagi baik kali?"

"Ngaco! Awes kalo nanti IPK lo lebih gede dari gue dan lo bilang itu karena hoki, gue daftarin lo ke prostitusi!"

Giri memukul lengan Kavi dengan muka kesal—tentunya pura-pura. Keduanya lantas berjalan menjauh dari ruang kelas untuk menuju area parkir kampus.

Dalam perjalanan, mereka tanpa sengaja melihat Omar sedang nongkrong bersama senior dan beberapa anak seangkatannya.

Omar terlihat pucat juga tidak nyaman. Senyumnya dipaksakan ketika orang-orang di sekitarnya menertawakan sesuatu. Ada yang aneh dengan gestur Omar, dia tidak terlihat bugar seperti biasa.

"Kenapa Gi?" tanya Kavi kala Giri tidak berjalan lagi di sebelahnya.

"Omar, mukanya kayak orang sakit. Bentar, dia pernah bilang kalo punya riwayat tipes, kan?"

Kavi mengikuti arah pandangan Giri yang tengah memperhatikan Omar. Memang benar wajahnya terlihat pucat, bahkan dari jauh.

Tapi kenapa orang-orang yang ada di sekeliling Omar tidak menyadari hal itu?

"Kalo nggak salah sih. Kebanyakan pasien tipes penyebabnya depresi atau stress, kan? Masak sih Omar gitu?"

Sekali lagi Giri memukul lengan Kavi, kali ini kesal betulan. "Kamu pikir, ada orang yang nggak punya masalah? Bisa aja beneran tau! Mungkin Omar lagi mikirin kita, terutama kamu. Mungkin dia sebenarnya mau baikan dan dengerin penjelasan kamu tapi gengsi."

Mendengar paparan Giri membuat Kavi mengendikan bahu. "Gengsi kok dipelihara?"

Dan perkataan Kavi sukses mengundang tatapan tajam dari Giri.

Kavi hanya terlihat semakin bodo amat. Walau sebenarnya jika mengingat kembali kejadian kala Omar memergokinya bersama Liam, bahkan tidak menyetujui orientasi seksualnya membuat Kavi merasa sakit hati.

Tapi sampai saat ini, yang Omar lakukan hanya menjauhinya dan Giri. Entah apa yang dipikirkan Omar karena tidak menyebarkan rumor mengenai hubungan Kavi dan si ketua BEM.

Jika memang Omar tidak suka dengan kaum LGBT, dia sepantasnya sudah membuat citra Kavi dan Liam jelek di kampus.

"Samperin yuk!" ucap Giri beberapa saat sebelum berjalan mendahului Kavi menuju tempat Omar.

Langkah Giri sudah lumayan jauh untuk bisa dicegah Kavi. Mau tidak mau dia harus mengikuti Giri yang mendekati Omar dan kawan-kawan barunya berada.

Kavi harus siap melindungi Giri kalau-kalau mendapat respon berupa penolakan atau perlakuan tidak menyenangkan dari Omar.

"Aahh!! Shit!!"

Kavi mensejajarkan dirinya dengan Giri begitu mereka telah berada di depan tongkrongan Omar.

𝐆𝐈𝐑𝐈 | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang