Aku suka mama.
Mama cantik. Punya banyak koleksi perhiasan dan alat kecantikan yang berbaris rapi di meja rias. Bibirnya selalu dipoles merah. Bagian favorit, setelah berdandan dia akan memberi ciuman udara padaku.
"Mama cinta padamu."
Itu kalimat mama setiap kali sehabis berdandan. Aku akan balas bilang mencintai mama juga lalu pergi ke kolong ranjang.
Kata mama, aku harus sembunyi jika matahari terbenam. Nanti, kalau mama sudah selesai bekerja, aku baru bisa tidur bersamanya.
Mama tidak pernah bohong. Aku selalu terbangun di atas ranjang bersamanya di pagi hari. Dan aku akan memeluknya erat dengan senyum lebar.
Mama tidak pernah marah. Apa lagi menampar. Namun malam itu ketika penyumbat telingaku lepas, mama berteriak kesakitan di atas ranjang. Aku takut. Mataku terpejam dan tanganku terkepal. Mama bilang jangan pernah keluar dari tempat persembunyian. Jangan juga mengeluarkan suara. Tapi aku takut.
Mama menjerit lagi. Mama bilang bangsat dan aku terperanjat.
Aku menutup telinga. Memukulnya berulang kali karena terasa gatal. Hentakan di atas ranjang masih terasa. Aku ingin keluar. Aku ingin menangis. Aku ingin membuat mama berhenti menjerit.
Kutarik telingaku yang terasa panas. Semuanya panas. Jadi, aku merangkak keluar dari kolong perlahan-lahan. Aku duduk, langsung menatap mama yang ditindih seorang lelaki asing.
"Mama." Aku memanggil tetapi mama tidak mendengar. Telingaku bersuara nging-nging berulang kali. Kupukul lagi agar berhenti.
"Mama!" Kali ini aku berteriak. Beradu dengan suara mama. Mataku basah dan telingaku masih panas. Mama dan lelaki itu berhenti dan sekarang sedang menatapku. "Mama, telingaku sakit."
Aku memejamkan mata sambil memukul telinga. Sakit.
"Bae Irene bodoh!"
Kudengar mama menyebut namaku saat lelaki asing itu membawa tubuhku ke atas kasur. Aku melihat mama menangis dengan wajah memerah. Mama marah. Mama sedang marah padaku.
"Kembalikan anakku."
Mama menarik tanganku kasar. Tetapi tubuhku dipeluk erat lelaki itu. Aku tidak mengerti mengapa mama memaksaku untuk lepas. Padahal lelaki asing ini membantu menyembuhkan telingaku. Entah apa yang dilakukan tangan ajaibnya, tetapi kupingku perlahan tidak panas lagi.
Mama langsung memelukku begitu lelaki asing tadi melepaskan pelukannya. Pipiku menempel erat di dada mama. Mama telanjang. Lelaki itu juga telanjang. Kata temanku, kalau orang dewasa saling telanjang artinya mereka sedang membuat anak. Apa aku akan mendapatkan adik? Aku ingin bertanya. Tetapi mama sedang marah padaku.
"Umurnya sepuluh tahun?"
Aku mendengar mama dan lelaki itu sedang berbincang. Mama mengeratkan peluk setiap bersuara.
"Untuk apa kau bertanya. Urusan kita sebatas ranjang. Jika kau masih mau, kita akan melanjutkan setelah aku mengeluarkan anakku."
Lelaki itu tertawa, mama menggeram.
"Tega sekali pada anakmu. Sudahlah, aku tidak lagi berselera."
Mama diam. Lelaki itu juga. Aku tidak berani menoleh. Takut dipukul mama.
"Ini," ada suara kertas yang bergesekkan ketika lelaki asing tadi berbicara. "Bayaranmu. Jangan lupa datang ke klinik untuk memeriksa telinga anakmu. Kalau kau tidak melakukannya, radang telinganya akan membengkak. Kemungkinan besar, dia bisa tuli."
Mama tidak menjawab. Kudengar lelaki asing itu berjalan lalu pintu membuka dan menutup. Setelah beberapa menit terlewati, Mama baru melepas dekapan. Aku didudukkan agak jauh. Mama memegang kedua tanganku kemudian menurunkannya dari telinga.
"Masih sakit?"
Aku mendongak lalu menggelengkan kepala. Mama tidak terlihat marah lagi. Jadi aku tersenyum agar mama tidak khawatir.
"Tidak sakit lagi, kok."
Sejak itu, mama menyuruhku berhenti sembunyi.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi || Hunrene [Completed]
Fanfiction[Completed] Mama pernah bilang, cari sesuatu yang bisa melindungimu agar hidup aman. CW: Mature content ©Lunabycrown