Drunken

227 29 0
                                    

Sejak kejadian malam itu, Sehun berubah pikiran tentang mencari penginapan di Jeongseon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak kejadian malam itu, Sehun berubah pikiran tentang mencari penginapan di Jeongseon. Katanya, dia tidak mau ambil risiko kalau aku bakal kabur. Kalau belum mengetahui kebohongannya, aku mungkin menanggapi dengan tawa. Namun, aku cuma diam karena tahu itu benar.

Sehun mengantarku tiap pagi. Rela pulang pergi dari Seoul ke Jeongseon. Aku heran dia bisa menyesuaikan waktu sifnya. Sehun bilang tidak usah peduli. Yang terpenting aku sampai di sekolah mengajar tepat waktu.

Alibi.

Aku tahu alasan sebenarnya bahwa dia semakin protektif padaku. Sehun menjelma jadi pasangan yang tak tahu privasi. Dia memeriksa ponselku. Dia lebih rajin bertukar kabar tiap jam. Bahkan sampai meminta foto untuk membuktikan kebenaran. Kadang, Sehun malah menghubungi lewat sambungan video.

Sengaja kuturuti semua keinginannya tanpa protes. Untuk menciptakan kesan aku memang sudah pasrah dan patuh.

Kami bertingkah seolah malam penuh tangis itu tak pernah terjadi. Kami tak menyinggungnya sama sekali. Walau efek malam itu berakibat cukup fatal karena aku kesulitan berjalan. Jangankan berdiri, berbaring pun rasanya perih. Hari itu kami berdua izin kerja. Sehun merawatku seharian penuh.

"Kau sudah pulang?"

Suara Sehun di seberang kurang terdengar jelas, hanya samar-samar. Aku melangkah ke pinggir rumah kepala desa, menyepi dari teman-teman.

"Hm, baru saja. Tapi kepala desa mengundang guru di sini makan malam."

Kulihat matahari masih menggantung di awan. Menghias langit dengan warna jingga kemerahan. Biasanya, jam sekarang Sehun sudah menjemputku. Namun, ajakan kepala desa begitu tiba-tiba hingga aku baru sempat mengabarinya.

Aku sengaja memberi jeda. Biar Sehun memutuskan apakah aku boleh ikut atau tidak.

"Oh, ya sudah. Kabari aku kalau acaranya selesai."

Sejujurnya aku terkejut mendengar jawabannya. Kukira Sehun tidak mengizinkanku mengingat betapa protektifnya beberapa waktu belakangan.

"Okay. Hm, omong-omong, kau di mana? Apa sedang istirahat?"

Kugigit bibir bawahku menahan geli. Aku memang tidak pandai mengawali percakapan. Klasik, Irene. Sangat basa-basi. Seperti anak remaja yang kasmaran.

Sehun terkekeh di seberang sana. Aku semakin ingin lari dari kecanggungan.

"Aku sebenarnya ingin memberi tahu tidak bisa menjemput. Rekanku meminta bertukar sif. Jadi, kau mungkin pulang sendirian. Tapi kurasa aku bisa menjemputmu kalau malam. Kabari saja."

Adiksi || Hunrene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang