Bagiku, Tuhan tahu jalan yang terbaik untuk umat-Nya. Tuhan tidak pernah memberikan ujian yang tak mungkin sanggup dilalui hamba-Nya.
Aku memang sempat berpikir bahwa kematian satu-satunya solusi setelah kepergian mama. Namun aku sadar kemarin-kemarin keputusanku terlalu banyak dipengaruhi perasaan dibanding logika. Melalui Sean, kala dia menawarkan apa yang terus hatiku teriakan, aku diam membeku ketakutan.
Sebagian kecil diriku menginginkan ajal, tetapi mengapa aku merengek saat Tuhan memberikannya lewat Sean? Mengapa aku menangis, memohon pada Sean agar tidak membunuhku?
Sedikit saja Sehun datang terlambat, mungkin aku akan menemui mama dengan membawa kekecewaan.
Aku menunduk, mengelap sudut mata yang berair.
Eksistensi Sehun adalah tamparan untukku. Dia pria yang menawarkan perlindungan tanpa tanggung-tanggung meski pada mulanya hanya berniat menjebakku. Kuingat kembali perkataanya. Katanya aku sengaja membiarkan diri disakiti orang lain. Katanya aku sengaja pasrah diri, tidak peduli bahaya sekalipun taruhannya nyawa. Sehun separuh benar.
Aku tidak benar-benar menginginkan kematian. Hanya saja, kehilangan mama membuatku bingung. Aku hidup untuk mama. Ketika mama tidak ada, aku tak punya motivasi lagi berpijak di bumi. Tetapi mati tidak menyenangkan.
Hampir mati, rasanya sungguh mengerikan.
Apakah mama sama sakitnya atau lebih parah ketika berhadapan dengan pencabut nyawa?
Aku tak mau mati. Aku masih ingin hidup. Aku masih sanggup melewati hari. Tuhan memberi kesempatan padaku. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan untuk yang kedua kali.
Dan apakah Sehun benar-benar sanggup melindungiku?
Aku menatap Sehun yang baru mendudukan diri di kursi kemudi. Pria ini kuniscayai dapat melindungi. Aku tahu dia akan melakukannya. Entah untuk apa, toh motif sebelumnya sudah kuketahui. Apa mungkin dia masih belum puas karena aku belum mati? Sedihkah dia?
Karena dia balik menatap, kualihkan pandang pada tangan kanannya yang berada di atas setir. Kuulurkan tangan, mencoba untuk merangkum punggung tangan besar Sehun. Seolah peka, Sehun membalikkan telapak kemudian menautkan jemari kami.
Tautan itu menjanjikan jaminan yang menarik. Tanganku sepenuhnya terselubung milik Sehun. Melindungiku. Sama halnya dengan perlakuan beberapa waktu belakangan. Sehun menungguku. Dia bercerita, memberi tahu kisahnya. Dia tak letih menemani walau sampai sekarang mulutku masih terkunci rapat belum mengeluarkan barang sepatah pun. Dia adalah pria yang tersenyum hangat meski aku bisa merasakan penyesalan di manik kelamnya. Dia adalah pria yang merawatku. Dia adalah pria yang terlihat sabar menghadapi bahkan menuntunku hingga ke parkiran. Dia yang akan mengantarku pulang.
Tapi mama Sehun tidak suka.
Mama Sehun bilang aku pelacur. Aku marah. Aku kesal karena beliau benar. Aku memang pelacur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi || Hunrene [Completed]
Fanfiction[Completed] Mama pernah bilang, cari sesuatu yang bisa melindungimu agar hidup aman. CW: Mature content ©Lunabycrown