"Kau habis menangis, Irene?"
Aku mengangkat wajah, menemukan Sehun yang berdiri di pintu kamar dengan kernyitan di dahi. Dia berjalan mendekat. Aku menengok jam di ujung layar laptop, pukul setengah dua malam.
Sehun baru pulang dari pagi sementara aku sedang mengerjakan proyek novel bab penutup.
Aku tidak tahu apa saja kegiatan Sehun selama seharian ini. Hidungku mencium aroma parfum yang berpadu dengan keringatnya ketika dia berjongkok di depanku. Bukan bau yang buruk. Apa dia sudah mandi?
"Jawab aku," desaknya seraya merengkuh kedua sisi kepalaku, mengusap bagian bawah mataku dengan ibu jarinya. "Kau menangis? Katakan padaku siapa yang membuatmu menangis? Apa Margarit?"
Padahal lampu kamar sengaja kumatikan. Sumber penerangan hanya bersumber dari laptopku. Tetapi Sehun bisa menebak kondisiku begitu menginjakkan apartemen.
Aku memegang kedua tangannya di pipiku. Mengusap punggung tangannya seraya tersenyum.
"Aku hanya merindukan mama. Kau tahu kalau mamaku sudah meninggal bukan?"
Aku tidak berbohong. Aku memang merindukan mama. Tidak ada gedoran. Itu hanya halusinasi. Mungkin aku sedikit gila.
Tampaknya, Sehun tidak percaya. Wajahnya maju beberapa sentimeter hingga aku bisa merasakan deru napasnya. Pandangannya menelisik, seakan berusaha menemukan sesuatu yang salah.
"Aku sudah berjanji melindungimu. Tak perlu sungkan menyebut orang yang telah menyakitimu."
Dia terus berkata begitu. Menekan tiap suku katanya seperti mengajari anak kecil yang tak paham baca tulis. Kalau dia pikir aku akan terintimidasi, salah besar. Matanya memang menyiratkan ancaman, tetapi aku membalasnya tanpa gentar. Membiarkan dia tenggelam di antara pupilku. Aku ingin Sehun melihatnya sendiri. Aku ingin Sehun merasakan apa yang berada di balik benakku.
"Kau...." Sehun mendesis dengan wajah memerah. Dia menarik paksa tubuhku hingga berdiri. Tangannya mencekal pergelangan tanganku untuk kemudian dia hempaskan. Aku jatuh terduduk di atas kasur.
"Aku pernah bilang tak akan menyakitimu kalau kau patuh. Belum ada dua puluh empat jam tapi kau sudah berani membantah dengan mengabaikan pertanyaanku."
Aku melihat Sehun yang menanggalkan satu persatu pakaiannya. Aku tidak bodoh. Aku tahu apa yang akan terjadi lewat gerak-geriknya. Kubilang pada diri agar berani. Kubilang pada Irene si pengecut bahwa ini adalah risiko dan konsekuensi. Perjanjiannya, Sehun melindungiku dari semua orang. Aku lupa dirinya sendiri tidak termasuk.
Memangnya, semenyakitkan apa sih yang bakal Sehun lakukan?
Aku diam, berpaling ketika tubuh Sehun tak tertutupi sehelai benang pun. Kuhitung mundur langkahnya yang mendekat. Mataku terpejam ketika Sehun mencengkeram bahuku ke kasur. Tubuhku terbaring tanpa daya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi || Hunrene [Completed]
Fanfiction[Completed] Mama pernah bilang, cari sesuatu yang bisa melindungimu agar hidup aman. CW: Mature content ©Lunabycrown