"Bae Irene?"
Aku mendongak dari ponsel mencari sumber suara yang memanggil namaku. Seorang pria berbadan tegap yang kutebak Editor Kang ada di depanku sembari memasang senyum. Aku bangkit lalu menyalaminya.
Kemarin aku mengontak dia, meminta untuk bertemu langsung untuk izin vakum. Rasanya lebih pantas bertemu langsung ketimbang lewat video telekonferen. Kami berjanjian di kafe dekat rumah sakit tempat Sehun magang. Sengaja, sebab sehabis ini aku berencana mengunjunginya seraya membawa makan siang.
Aku memusatkan perhatian pada Editor Kang. Dia memesan Americano sementara aku cokelat panas. Bibirku melengkung. Ini pertama kalinya aku bertatap muka langsung dengan Editor Kang. Sama seperti di aplikasi pesan, beliau orangnya memang ramah dan murah senyum. Kami sama sekali tidak canggung.
"Ya ampun. Kau seasyik ini tetapi selalu menyembunyikan diri."
"Terima kasih," kataku seraya tertawa kecil. "Kuanggap itu pujian."
Dia berdeham.
"Omong-omong, kau serius ingin vakum? Untuk berapa lama?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Jariku memutar bibir gelas. Aku juga tidak tahu pasti. Namun, belakangan ini aku merasa menulis bukan lagi hasratku. Bukan berarti aku putus asa. Hanya saja, menulis tidak lagi menyenangkan.
Tiga bulan yang lalu ketika sedang mencari data untuk penelitian tugas akhir, aku terenyuh menyaksikan anak kecil di pedesaan yang semangat belajar walau kondisi fasilitas sekolah kurang memadai. Rasanya, aku ingin memberikan mereka yang terbaik. Aku ingin fokus membimbing anak-anak yang dipenuhi mimpi besar.
"Saya tak bisa menentukan waktunya, Editor Kang," jawabku setelah terdiam cukup lama.
Lelaki di depanku mengibas tangan. "Tolong panggil aku Brian saja. Dan jangan begitu formal denganku. Apa cuma aku yang menganggap kita cukup akrab?"
Aku tertawa.
"Baiklah. Biar kuulangi. Aku tak bisa menentukan waktunya, Brian. Kemungkinan besar aku bakal berhenti. Aku merasa menulis bukan hal yang menyenangkan lagi. Aku merasa, menulis membuatku tertekan."
Editor Kang memajukan tubuhnya ke meja, tangannya saling tertaut. Begitu pula dengan alisnya. Aku mengatakan apa yang menjadi kegelisahanku. Aku merasa Editor Kang pantas mengetahuinya. Dia yang selama ini membantuku masuk ke dunia sastra. Dia yang menyemangatiku ketika aku dalam kondisi runyam untuk menulis. Dia yang selalu peduli walau tak tahu bagaimana rupa asliku.
"Kau tidak perlu memutuskan terburu-buru, Irene. Kau hanya butuh istirahat. Aku mengatakan ini bukan sebagai editor ataupun pemilik penerbit. Sebagai sahabatmu, aku ingin yang terbaik untukmu. Jika kau telah istirahat cukup dan masih merasakan hal yang sama, aku bisa melepasmu. Maksudku, sebagai penulis. Aku menawarkan posisi lain sebagai editor ataupun layouter untukmu. Sayang jika ilmumu tak dipakai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi || Hunrene [Completed]
Fanfiction[Completed] Mama pernah bilang, cari sesuatu yang bisa melindungimu agar hidup aman. CW: Mature content ©Lunabycrown