Morning

395 49 0
                                    

Hal pertama yang kusadari ketika membuka mata adalah sebuah tangan yang merengkuh tubuhku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hal pertama yang kusadari ketika membuka mata adalah sebuah tangan yang merengkuh tubuhku. Aku jadi mengingat mama. Namun mama tidak pernah memelukku lagi semenjak divonis kanker payudara. Aku mencoba mengingat potongan-potongan memori kemarin, menggali alasan keberadaanku saat ini.

Oh, dikejar Margarit, perjanjian dengan Sehun, lalu pindah ke tempat tinggal lelaki itu. Aku ingat sekarang berada di apartemen Sehun.

Sehun. Lelaki asing yang kupercayai dapat melindungiku. Kalau dipikir-pikir, apa yang membuat Sehun setuju pada permintaanku?

Aku menatap ke depan, tepatnya pada dada Sehun yang terbungkus kaus tipis warna hitam. Dia tidak mungkin cuma menginginkan tubuhku. Dari tampang dan isi dompetnya, dia tidak akan sulit menggaet perempuan secara cuma-cuma. Aku mengakui bahwa Sehun berwajah tampan. Kelewat tampan hampir menyerupai dewa--meski aku tidak tahu bagaimana rupa dewa yang sesungguhnya. Yang pasti, wajah Sehun tipe yang sedap dipandang serta tidak akan pernah bosan dilihat sekali.

Apa mungkin Sehun merasa kasihan padaku? Seorang yatim piatu yang dibuli habis-habisan datang memohon bantuannya. Mungkin, Sehun berpikir aku mainan yang menyenangkan.

Yeah, tak menjadi masalah bagiku. Toh yang penting Margarit tidak lagi mengincarku. Dia perempuan yang menyeramkan. Aku hanya berharap tidak pernah bertemu dengannya.

Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku tidak tahu pukul berapa saat ini. Aku ingin bangkit tetapi takut membangunkan Sehun. Aku tidak mau mengganggu. Apa aku harus menunggunya?

Kepalaku mendongak. Kukira aku akan menyaksikan pemandangan Sehun yang sedang terlelap. Nyatanya, pria itu sudah membuka matanya. Kami saling bertatapan tetapi tidak bersuara. Keheningan yang cukup lama membuatku bertanya-tanya. Apa Sehun tidur dengan mata terbuka?

"Sehun?" ucapku serak. Kelopak matanya mengedip. Oh, dia tidak tidur rupanya.

Sehun menjawabku dengan dehaman. Kemudian aku kebingungan. Aku tak tahu dia akan marah atau tidak jika aku meminta izin bangun. Aku selalu ingat dia menginginkan tubuhku. Sejauh ini, yang dia lakukan hanyalah mencium bibirku.

"Apa aku boleh bangun?" tanyaku pada akhirnya. Aku memang sulit mengendalikan rasa penasaran.

"Memangnya kau mau ke mana? Fajar bahkan belum menyingsing."

Aku suka suara Sehun di pagi hari. Aku juga suka pada kalimat pengandaiannya. Makanya aku tersenyum. Dia menggunakan objek fajar alih-alih matahari. Biasanya, orang-orang berkata,  "Ini bahkan belum pagi."

"Kenapa tersenyum? Kau sedang menggodaku?"

Kugelengkan kepala. Bingung mengapa Sehun bisa menganggapku begitu. Apa aku memang tidak diciptakan tersenyum karena hanya akan menimbulkan salah paham?

Aku menunduk, menghela napas panjang. Namun, tangan Sehun menarik daguku sehingga aku kembali menatapnya. Dan dia mendaratkan mulutnya pada bibirku. Kami masih saling bertatapan ketika Sehun mulai melumat bibirku. Aku membuka mulut, mencoba meniru gerakan Sehun karena siapa tahu dia menginginkannya.

Aku bisa merasakan senyum Sehun di bibir. Tangannya membelai pipi, kemudian perlahan-lahan turun ke leher dan bersemayam di pundakku. Aku menahan napas dalam cumbuannya. Ketika Sehun meraba dadaku, aku mengerang. Terkejut atas sensasinya.

Wajahku panas. Sehun meremas lembut.  Aku merasakan tubuhku bergetar aneh.

"Kau menyukainya?" tanya Sehun setelah melepas ciuman.

Mama tak pernah mengajariku tentang merayu pria. Aku tidak tahu apakah sebuah erangan menjadi tanda bahwa aku menyuikai kegiatan ini. Jadi, dengan modal insting, aku mengangguk mengiyakan. Lagi pula, rasanya tidak buruk.

"Mau lagi?"

Sebenarnya aku tidak mau. Aku ingin bangun dan membaca ulang diktat dan mempelajari buku paket untuk jam kuliah siang. Tetapi aku tahu menolaknya sama hal dengan mengingkari perjanjian.

Dia mencium lagi sebelum aku menjawab. Sudah kuduga, dia hanya berbasa-basi. Kali ini ciumannya agak kasar, terkesan memaksa mulutku agar membuka. Tatkala menuruti kemauannya, lidahnya melesak dan membelit punyaku. Aku baru tahu ciuman rasanya seperti ini.

Kedua tanganku meremas ujung kaus Sehun. Ciumannya turun ke leher, dia berlama-lama di sana hingga aku harus mendongak. Kepalaku pusing sementara tubuhku berdenyut-denyut tak karuan. Jari kakiku menekuk kala tangan Sehun menurunkan bra yang kupakai. Aku mengintip lewat sudut mata, semua kancing baju piamaku terbuka.

Mulutku mendesis. Jemari pria itu memainkan dadaku.

"Sehun."

Aku tidak tahu mengapa mulutku tiba-tiba memanggilnya. Aku hanya sadar bahwa setiap sentuhannya membuatku menggelinjang dan menyebut namanya.

"Sehun."

Seluruh badanku tremor. Aku ingin menangis di lain sisi kenikmatan menjalariku. Aku tidak sanggup melihat kala Sehun menggantikan tangannya dengan mulut. Sialan, sakit sekali rasanya. Mataku terpejam sementara bibirku terus merapalkan lenguhan.

"Ini baru awal, Bae."

Bisikkan itu terembus seiring dengan napas legaku. Jantungku berdetak cepat seakan-akan sedang mengikuti kompetisi maraton. Sehun merapikan kembali pakaianku.

Lelaki ini gila.

Kalau awalnya seperti ini, bagaimana lanjutannya? Apa dia merencanakan pembunuhan padaku?

Aku mencoba duduk. Bergerak agak menjauh dari Sehun yang kini sedang terkekeh. Aku tahu dia mentertawakanku yang menciut ketakutan.

"Did you scared, Irene?"

Aku menggelengkan kepala cepat. Sehun terlihat tidak percaya. Aku menelan saliva susah payah ketika dia mendekat, memojokkanku ke sudut.

"But I don't think so," ucapnya pelan tepat di depan wajahku. "Be honest to me."

Kalimat bernada ancaman itu semakin membuatku pusing. Jantungku terasa akan meledak. Apa sih yang dia inginkan sebenarnya?

"A-aku takut padamu." Kukatakan padanya isi benakku. Mataku enggan berlabuh di iris hitamnya. Dia menyeramkan. Dan aku terjebak perjanjian dengannya. Mengapa aku bisa sebodoh ini?

Mataku terpejam ketika tangannya terulur. Aku menahan napas. Takut jika sebuah pukulan mendarat. Namun, kurasakan usapan pelan di pipi. Aku membuka mata, mendapati pusaran kelam dari sorot pandang Sehun terfokus padaku.

"Aku tidak akan menyakitimu selama kau patuh. Paham, Bae?"

Lekas mengangguk, aku paham dengan sifat arogannya. Dia ingin menguasaiku. Jawaban yang dia mau adalah 'ya' tanpa unsur paksaan.

Opiniku terbukti. Sehun mengecup bibirku untuk yang terakhir kali sebelum dia bangkit dan pergi ke arah pintu. Entah mau ke mana. Aku tidak peduli. Yang penting, untuk sementara ini aku bisa menghirup udara bebas.

Aku meraih ponsel di atas nakas. Layarnya menunjukkan angka 4.30. Aku menaruhnya kembali karena sekadar memeriksa jam. Aku terbiasa belajar di pagi buta. Kegiatan yang menjadi rutinitas semenjak aku memasuki SMP. Sekarang, aku tak yakin bisa fokus.

Tangan Sehun masih terasa di dadaku, membekas dalam ingatan. Dan itu rasanya sesak.

×××

To be continue

   

Adiksi || Hunrene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang