After

288 37 0
                                    

Aku terbiasa kecewa hingga nyaris mati rasa setiap mengalaminya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terbiasa kecewa hingga nyaris mati rasa setiap mengalaminya.

Walau terkadang rasa itu bereaksi berlebihan. Seperti ada tangan yang merenggut jantungku secara paksa. Sesak yang mendera tak tahu malu merayap ke seluruh jiwa membelenggguku ke rantai hampa.

Secara harfiah, sekarang aku memang sekarat kehabisan napas. Tangan yang menutup luka tak sanggup mencegah darah terus mengalir. Sama halnya dengan air mataku.

Aku menyesal meminta bantuan Sehun. Seharusnya aku tidak memberi kepercayaan pada orang asing. Terlebih pada lelaki yang sedang berjalan mendekatiku.

Kutepis tangan-tangan yang terulur. Mataku beradu pandang dengan miliknya.

"Kau tidak berniat melindungiku. Kau ingin membunuhku. Jangan mendekat, biarkan aku mati di sini," ucapku lemas dengan tangan terkepal. Aku masih bisa marah walau kepalaku dari tadi berdenyut sakit. Jangan tanya indera penciumanku. Hidungku diserang molekul bau anyir seperti besi karat.

Sehun tidak mendengar permintaanku. Dia tetap menyentuhku, dan aku mundur menjauh sembari melawan memanfaatkan tenaga yang tersisa. Aku memukul Sehun dengan tangis tertahan. Mataku buram oleh gumpalan air yang menumpuk di mata sementara kepalaku menggeleng tiap kali Sehun meraihku.

Dia mengguncang bahuku ketika aku mendadak diam dengan napas tertahan. Mataku terbelalak. Aku ingin meraup udara tetapi tidak bisa.

"Dasar bodoh." Aku bisa mendengar Sehun mengumpat ketika dia membimbingku berbaring. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak tetapi masih memahami situasi yang sedang terjadi. Denyutan kepalaku semakin kuat bagai dihantam godam. Semuanya tampak kabur. Plafonnya bergerak-gerak. Sehun tiba-tiba membelah diri menjadi lima.

Aku tidak tahu sejak kapan Sehun mengambil handuk basah untuk menyumbat luka terbuka di leherku. Asam lambungku naik dan aku muntah. Aku terbatuk, menyemburkan cairan merah pekat yang menodai kemeja yang kupakai.

Ada tangan yang bergetar sewaktu membersihkan mulutku. Sehun menyerapah lalu tangannya merobek bajuku seperti kemarin malam. Dia menyentuh dadaku, menekannya lama, kemudian kurasakan satu tangan didahiku sementara yang lain di dagu mendongakkan kepalaku. Dia menciumku. Namun bukan jenis ciuman berupa lumatan, melainkan meniup udara. Embusan napas Sehun masuk ke mulutku. Dia melakukan itu berulang kali sampai aku mendapatkan cara untuk bernapas kembali.

Aku menggelayut lemas kala Sehun membawa tubuhku dalam dekapan. Dia bergegas keluar apartemen tergopoh-gopoh. Apa dia tidak khawatir pandangan orang-orang jika menatapnya yang menggendong tubuh perempuan dipenuhi darah? Seharusnya dia tidak perlu menolongku. Seharusnya dia membiarkan aku mati kehabisan darah.

Mataku mulai berat. Aku menutup mata. Sayup-sayup kudengar ketergesaan Sehun yang membuka mobil Audi di parkiran. Dan itu menjadi ingatan terakhir sebelum lubang hitam yang besar menyedot kesadaranku.

×××

Aroma tidak asing itu menyergap rongga hidung, membuatku sadar tempat aku berada walau mataku masih menutup. Kubuka kelopak mata perlahan. Harus pelan karena rasanya bulu mataku menempel lengket.

Adiksi || Hunrene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang