Drawing Our Moment

600 51 21
                                    

Sepuluh tahun berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepuluh tahun berlalu.

Aku berada di hamparan tanah merah dengan berbagai nisan. Mengamati tulisan dalam bahasa Rusia yang menginformasikan pemilik nama yang telah berbaring di dalam peti. Walau sudah membaca berulang kali, nama itu tetap tidak berubah.

Kakek sungguhan pergi ke alam baka. Mungkin beliau senang bisa menyusul nenek yang pergi setahun lalu. Setidaknya, mereka pergi dimakan usia, bukan karena penyakit ataupun tragedi. Kematian mereka sudah diprediksi dokter. Jadi, pihak keluarga sudah menyiapkan diri baik secara fisik dan batin.

Rasa sedih tetap ada. Bukan pilu yang meluluhlantakkan hati, melainkan kesadaran merelakan mereka yang sudah pasti tak abadi.

Aku di sini, masih bertahan di antara pelayat yang telah angkat kaki. Masih betah mengamati jirat dengan posisi duduk bersimpuh.

"Mama masih lama?"

Kepalaku menoleh ke kiri. Bibirku mengembangkan senyum pada anak perempuan yang menggelayut manja ke lenganku. Aku mengusap rambutnya lembut.

"An lelah ya? Ayo, kita pulang."

Tatiana, gadis kecilku yang kini berusia sepuluh tahun mengerucutkan bibirnya ketika sang kakak kembaran menegurnya di perjalanan ke mobil.

"Kau ini. Mama masih mau di sana. Seharusnya kau menurut saat Tante Margarit mengajakmu pulang."

"Igor," panggilku seraya mengusap puncak kepalanya. Dia meringis saat kami bertatapan. Aku hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis.

Bocah lelaki di samping kananku tampak enggan menatap Tatiana.

"Maaf membentakmu, An."

Aku mengajarkan mereka berdua untuk menjaga kerukunan juga bersikap hati-hati terhadap setiap perkataan dan perbuatan. Meminta maaf salah satu kewajiban untuk solusi pertengkaran. Siapa yang benar atau salah tidak jadi soal. Sebab yang pertama meminta maaf adalah dia yang berani. Dan yang pertama memaafkan adalah dia yang berbesar hati.

Masa kanak-kanak ialah waktu yang tepat membentuk kepribadian. Aku ingin anak-anakku kelak menjadi seseorang yang pemaaf dan berani mengakui kekeliruan. Seperti yang diajarkan mama padaku.

Tatiana menjulurkan lidah. Aku menahan senyum sebab kejahilannya yang senang meledek sang kakak. Sementara yang diledek hanya menyeringai sambil lalu, tidak menghiraukan. Ya ampun, aku gemas sekali pada mereka.

"Sudah-sudah," ucapku menengahi sebelum Tatiana merajuk dan semakin menjadi menyulut emosi Igor. "Terima kasih ya sudah menemani Mama, Ana, Igor."

"Anything for you, Mom." Igor membalas sembari memberiku senyum.

"Me too, me too."

Aku tertawa, mengangguk pada Tatiana yang melonjak kegirangan. Untungnya kami sudah berada di pelataran parkir. Gadis kecilku memiliki suara yang agak nyaring. Berbeda dengan Ana yang hiperaktif, Igor cenderung pendiam. Untuk ukuran anak seusianya, dia lebih dewasa. Sangat bertolak belakang dengan Ana yang manja. Kadang, aku sampai heran mencari letak kembar di antara mereka selain wajah.

Adiksi || Hunrene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang