Dulu, Sehun pernah bercerita bahwa orang tuanya nyaris berpisah. Papanya ketahuan bermain api dengan wanita bayaran. Sean dan Sehun menjadi alibi mereka membatalkan gugatan cerai. Namun, hubungan mereka sebatas partner belaka. Tidak ada cinta yang mengiringi. Mereka memang melalui suka dan duka bersama-sama. Setidaknya mereka tidak mengkhianati janji pernikahan. Itu kata Sehun.
Menjalani hubungan dengan Sehun tak kuanggap serius. Karena aku yakin Sehun trauma dengan pernikahan mengingat rumah tangga orang tuanya. Lagi pula, Sehun tak pernah mengenalkanku pada mereka. Itu semakin memperkuat pradugaku. Tetapi, mengapa rasanya bisa sesakit ini? Mengapa aku tak bisa mengendalikan perasaan?
Saat kata "calon istri" keluar dari mulutnya, aku kehilangan suara. Omong kosong apa lagi yang dia beri untukku?
Menunduk adalah langkah yang tepat. Biar Sehun menganggapku sedang malu karena kenyataannya aku menghapus air mata yang sempat turun.
Sejak menemukan foto yang tersimpan di folder terkunci, aku semakin linglung. Aku penasaran apa yang memotivasi Sehun menanamkan harapan untukku. Jika untuk dipatahkan, apa dia memang sekejam itu?
Aku lelah memasang topeng tiap menghadapi Sehun. Inginnya kubongkar saja agar dia tahu sehancur apa diriku. Namun, sebagian kecil hatiku yakin untuk menahan lebih lama. Sejauh mana Sehun mampu menyimpan bom waktu.
"Setelah ini kau langsung pulang atau mencari penginapan?"
Perhatian ini, membuatku sedikit muak. Sehun mengantarku sampai ke halte depan sementara dia masih memakai seragam rumah sakit. Aku sudah menolaknya, tetapi Sehun bersikeras menemaniku. Toh katanya jadwal shiftnya masih lama.
"Dua-duanya," jawabku riang. Kami telah sampai di halte. Aku melepas genggaman."Sudah, masuk sana. Nanti kau kena omel residen lagi."
Tidak sulit memasang senyum. Tanpa emosi pun aku bisa melakukannya. Rasanya seperti sudah terpatri otomatis di otak. Aku terbiasa menunjukkan apa yang ingin orang lihat dariku.
Sehun ingin melihatku senyum, aku memberikan tanpa sungkan.
"Hati-hati di jalan," katanya lembut dengan tangan mengusap puncak kepalaku.
Aku mengangguk, melambai padanya yang menjauh.
Senyumku pudar seiring bus datang. Sebelum naik ke dalam, mataku menangkap pantulan seorang gadis yang berdiri diselimuti kebohongan. Dia adalah aku. Perempuan munafik lagi naif. Aku benci melihatnya tetapi bus ini kebanyakan terbuat dari kaca hingga aku muak melihat bayanganku yang terpantul.
Begitu duduk di bangku, aku menyandarkan kepala di jendela lalu memejam. Derak mesin bus yang berjalan mengisi rungu. Tak luput suara percakapan orang-orang mengiringi. Di antara riuh rendah di sekeliling, sayangnya otakku dijejali tentang Sehun dan kedustaannya.
Dua tahun yang lalu, Sehun bilang bahwa Sean telah mati. Dia mengajakku ke pemakamannya yang ternyata tak jauh di makam mama. Aku hanya pernah mengunjunginya dua kali. Satu bersama Sehun, sementara sisanya lima hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi || Hunrene [Completed]
Fanfiction[Completed] Mama pernah bilang, cari sesuatu yang bisa melindungimu agar hidup aman. CW: Mature content ©Lunabycrown