Aku pernah menyukai beragam lelaki dari kecil hingga sekarang. Dari yang manis, perkasa, lembut, juga galak. Namun, perasaanku tidak pernah berbalas karena aku tak pernah mengungkapkannya. Pikirku, selama masih bisa melihatnya, itu sudah cukup. Mereka tidak akan senang jika mengetahui disukai oleh anak seorang pelacur.
Siklus tersebut membawaku pada satu kesimpulan, akan ada orang yang sangat kusukai bahkan kucinta, tetapi hanya sampai di sana. Orang datang dan pergi silih berganti. Tak ada yang abadi. Seperti mama. Aku sudah belajar untuk berdamai dengan perasaan itu.
Sehun kasus baru untukku.
Ya, aku memang menyukainya. Dan dia tampak menyukaiku. Dia mengejarku. Dia melindungiku. Namun aku ingat dia juga yang memasang kematian untukku. Dia membuatku lupa bagaimana berdamai dengan perasaan.
Aku tak mau hancur oleh sesuatu yang fana. Sesuatu yang tak terlihat tetapi mampu membalikkan kehidupan.
"Maumu apa Sehun?"
Makanya aku memberanikan diri berbincang dengannya. Kami saling berhadapan. Aku di mulut gang, sementara Sehun di trotoar berjarak sepuluh langkah dariku. Kuakui keteguhannya menjaga jarak dariku selama sebulan semenjak aku tinggal kembali di rumah. Tapi itu cukup. Aku harus menghentikan perjuangannya sampai di sini sebelum hatiku luluh untuk kemudian dileburkan menjadi serpihan gas.
Kulihat dia melepas topi hitam. Rambut legam bagian depannya jatuh dengan indah. Manusia sempurna seperti Sehun tidak pantas untukku. Namun bukan berarti aku pantas dipermainkan. Aku berharga untuk diri sendiri. Aku percaya suatu saat akan ada lelaki yang mencintaiku setulus mama menyayangiku. Orang itu bukan Sehun.
"Bisakah kita berbincang di tempat yang nyaman?"
Aku menggeleng, Sehun menghela napas hingga uap Desember yang dingin terlihat dari mulutnya.
"Jawab saja pertanyaanku. Aku lebih nyaman begini."
"Irene--"
Kakiku refleks mundur ketika Sehun maju. Aku mengeratkan genggaman pada tas selempang. Manikku menatap sekitar awas. Tiba-tiba aku menyesal menanyakan di waktu yang tidak tepat. Jangankan malam hari, pagi pun kawasan gang ini terbiasa sepi. Kalau Sehun nekat menghampiri, yang bisa kulakukan adalah lari dan menjerit histeris ke dalam rumah. Itu pun kalau selamat.
"Oke, aku akan menjawabnya di sini," ucap Sehun gusar. Mungkin dia menyadari ketakutanku.
Dia memberikan sorot sendu. Terlihat ingin menggapai tetapi tertahan sesuatu. Mengapa? Mengapa begitu? Apa Sehun sedih dengan percakapan ini?
"Aku, aku tidak tahu." Sehun mengembuskan napas, menghantarkan kepulan uap bagai asap. Dia berdiri dengan kedua tangan terkulai di sisi tubuh. Tangannya pucat tak terbungkus sarung. Pandanganku naik ke bibirnya. Sama pucat dan terdiam seakan kelu.
Apa aku jahat membiarkan Sehun kedinginan begitu? Haruskah aku mengajaknya masuk ke rumah?
Aku membalikkan tubuh. Kudengar Sehun memanggil namaku di balik punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi || Hunrene [Completed]
Fanfiction[Completed] Mama pernah bilang, cari sesuatu yang bisa melindungimu agar hidup aman. CW: Mature content ©Lunabycrown